Betapa sumber cahaya terang benderang berubah dari prasangka kebenaran ke kefatalan yang tergesa-gesa.Â
Dunia sudah lama telah ditafsirkan dan dimanfaatkan sesuai logika maupun selera kita masing-masing.
Demi nafsu atau kenikmatan  instan untuk tujuan politik kuasa, akhirnya menjadi monster kecil dalam pikiran yang senang menciptakan kebenaran yang lancung. Akhir dari kebenaran adalah akhir dari tanda keilahian. Selama ini dengan cara penafsiran dan pemahaman teks hampir dikatakan bercorak tunggal, memusat, dan eksklusif di tangan segilintir dan sekelompok orang membuat cara berpikir yang melawan dirinya sendiri. Anda bergumul dalam pemikiran diskursif, maka yang paling penting adalah cara membaca sumber rujukan yang lebih berbeda dan plural.
Apa tujuan dari rujukan yang berbeda dan plural?Â
Pembebasan kebenaran dari selera pribadi itulah tugas kita. Anda perlu membebaskan diri sendiri dari belenggu teks. Anda begitu terpaku atau seakan-akan terhipnotis dengan kebenaran-kebenaran yang hanya bersumber dari yang sama dan tunggal.
Sehingga secara enteng terbawa arus dan terlena, seperti buku sebagai obat penenang. Anda  mencoba untuk membenturkan meja buku bacaan dengan sekeras-kerasnya hanya karena realitas itu tidak sesuai dengan selera pribadi. Kita belum terlambat untuk tidak berpikir. Bahwa Anda sesungguhnya telah membangun sebuah rezim kebenaran.
Pada saat tertentu, selera menjadi satu permainan atas kebenaran. Keteguhan atas kebenaran sesuai filsafat Barat untuk mengatasi takhyul dan pemikiran Timur yang tidak tertarik pada mimpi dan ilusi atas kebenaran.Â
Kita telah memaksa bagaimana sosok kebenaran berbicara dan beroperasi di sekitar teknisi, administrator, sineas, fotografer, penulis, pembaca, dan masyarakat umum saling memandang terheran-terheran. Mereka dan antara satu dengan yang lainnya sambil meratapi kebenaran dan menghujat dirinya sendiri.
Kita berbicara tentang kebenaran seakan-akan berbicara dengan momok yang menakutkan tatkala sebagian orang telah kehilangan tengggang rasa, melupakan dan mempersilahkan pada yang lainnya untuk berbicara. Ironi terjalin dalam diri orang-orang yang berada dalam kekusutan pikiran dan kekacauan nafsu, padahal setiap pihak berbicara atas nama kebenaran.
Apalagi yang menggugat dari agama yang sama. Kita tidak berpikir, bahwa diskursus pengadilan mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar. Dalam hal ini, saya tidak berminat pada cara berpikir dalam wilayah fenomenal, seperti yang dilakukan pihak-pihak yang saling berseberangan secara politik. Pada pihak yang satu menganggap pihak yang lain telah menodai demokrasi atau merusak keadilan. Dari pihak yang satu lagi, berbicara ingin meminta dimana bukti ketidakadilan atau pelanggarannya.
Begitu pula penggugatan kebenaran atas nama agama ditopang corak pemikiran dan posisi keyakinan.Â