Kehidupan dan pengetahuan ibarat kaca dihindari dengan dua cara: pertama, menjaga agar tidak tertutupi debu dan kedua, menjaga agar tidak pecah. Kebenaran tidak ada kaitannya dengan kaca cermin karena seobyek-obyektifnya ia tidak ada rujukan yang patut darinya.
Mungkin inilah paling penting dari lekukan pemikiran diskursif setelah penolakan atas yang Nyata sebagai obyek berhala dalam kebenaran.Â
Pengetahuan menunjukkan titik kebenaran yang dimainkan bahwa hasrat seksual sama pentingnya dengan uang yang menggoda.
Kita mencoba untuk bangkit dari cara berpikir paling maju tentang kepalsuan lebih menarik dibandingkan menerima pengetahuan akan kebenaran yang keluar dari tubuh dalam keadaan tidak bersalah. Kepalsuan dianggap kebenaran menandakan akan lebih terbuka dan jelas corak berpikirnya. Lebih baik memilih orang yang sudah diketahui "belangnya" daripada orang yang pura-pura berbicara atas nama kebenaran dan sejenisnya.
Bukan lagi keadaan apa saja yang membuat seorang terperangkap dusta dan kesalahan, melainkan kemampuan untuk menyalurkan tulisan tema perlawanan di bawah aliran produksi intelektual. Anda percaya pada Ayah. Saya masih percaya kebenaran dari hasrat.
Dalam pandangan Ayah, "Jauhilah kepalsuan Anakku saat sedang berbicara pada khalayak atas kebenaran!" "Menulis tentang kebenaran!" Kapankan kita menulis tentang kebenara? Beberapa buku tidak lebih dari ketidakhadiran makna. Ia di hadapan kebenaran dan dalam realitas membuat seseorang untuk tidak ingin banyak pusing.
Proses penting terjadi tidak terelakkan melalui titik pergerakan dari subyek sebagai subyek atau subyek sebagai obyek.Â
Tentunya lebih memungkinkan pengetahuan leluasa memasuki pernyataan benar dan salah dalam wilayah a priori pemikiran yang berkaitan penampakan, subyek, dan cara berbicara.
Khusus untuk subyek kuasa begitu beragam dan menyebar dimana-mana dalam kehidupan subyek itu sendiri. Subyek pengetahuan sesuai subyek kuasa dari ayah, anak, orator, orang gila atau orang buta huruf memungkinkan sebagai obyek pengetahuan. Sehingga kuasa dari subyek tidak menjadi permasalahan dalam pengetahuan selama kebenaran memiliki keterkaitan dengan kebenaran yang tidak dikenali.
Akhirnya, ucapan dari naskah resmi terlalu banyak kata-kata yang dipadatkan melalui tulisan menyisipkan kebenaran sebanyak kebenaran yang dimainkan secara tidak jelas dan pasti. Hasrat untuk menciptakan suara tulisan tentang keadaan dari kekacauan realitas. Dari situlah cara produksi diskursus memungkinkan untuk mengurangi prosedur-prosedur pengetahuan yang tidak mengenal kebenaran.
Boleh jadi di tangan seseorang, bahwa kebenaran adalah kebenaran dari masing-masing subyek. Dia yang ingin lebih mengenal siapa sesungguhnya dirinya. Sehingga parodi dan ilusi bersesuaian dengan kebenaran. Diskursus perlu memperhatikan celah kebenaran dan kepalsuan-kepalsuan.