Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Permasalahan Kebebasan Menurut Kant

23 Januari 2023   18:27 Diperbarui: 23 Januari 2023   18:30 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah besar kemungkinan, jika kebebasan merupakan ide dan nilai universal. Bentuk dari ide dan nilai universal adalah bagian dari akal budi. 

Memang, sesuatu yang universal menjadikan kebebasan  datang dari subyek. Kebebasan bukan sebagai obyek yang terbatas.

Kebebasan dari apa? Kebebasan untuk apa? Itu yang sering kita dengar atau kita baca. 

Representasi dari subyek yang berpikir tidak hanya bebas dari semua hal. Tetapi, dari semua hal dan dari setiap kondisi yang masuk akal, tentu rasional.

Hukum moral berbeda dengan hukum kebebasan. Tetapi, Immanuel Kant dalam Critique of Practical Reason (2002) melihat akal budi tidak beralasan: kesadaran hukum moral adalah fakta. "bukan fakta empiris, tetapi satu-satunya fakta dari akal budi murni, yang olehnya menyatakan dirinya sebagai hukum yang berasal." (Critique of Practical Reason, 31/31)

Lebih jauh lagi, Kant melihat akal budi adalah fakultas yang melegitimasi secara pelan-pelan dalam fakultas hasrat. 

Dalam bentuk ini disebut 'akal budi praktis murni'.

Fakultas hasrat bersekukuh dalam dirinya sendiri (bukan dalam isi atau obyek). Ia secara tegas disebut kehendak, 'kehendak otonom'. Sehingga kebebasan berhubungan dengan otonomi.

Hukum apa yang mampu sedemikian rupa menentukan kehendak bebas (free will)? Apa perlu kita menjawab? Hukum moral (sebagai bentuk murni dari legislasi universal). Sehingga akal budi praktis dan kebebasan terjalin kelindan antara satu dengan lainnya.

Dari sudut pandang representasi, kebebasan adalah konsep akal budi praktis yang menuntun kita ke konsep kebebasan. 

Bisa dikatakan, konsep kebebasan adalah turunan dari konsep akal budi praktis.

Setidaknya dalam satu kasus, kebebasan dikaitkan dengan benda itu sendiri dan nomena (noumenon) harus dianggap bebas: ketika fenomena (phenomenon) yang bersesuaian untuk menikmati fakultas aktif dan spontan yang tidak bisa direduksi menjadi sensibilitas sederhana. Kami memiliki pemahaman dan di atas semua alasan, kita adalah kecerdasan." (Critique of Practical Reason, Dialectic, 'Explanation of the Cosmological Idea of Freedom').

Konsep kebebasan ini, seperti halnya nomena (noumenon). Tetapi, ia murni bermasalah dan tidak pasti (walaupun niscaya) jika akal budi tidak memiliki sisi kepentingan lain, kecuali dari kepentingan spekulatifnya. Kita telah melihat bahwa hanya akal budi praktis yang menentukan konsep kebebasan dengan memberikannya sebuah realitas.

Oleh karena itu, akal budi praktis tampaknya dalam memberikan konsep kebebasan sebuah realitas obyektif, membuat peraturan pada kenyataannya atas obyek konsep. Akal budi praktis melegitimasi benda itu sendiri, atas wujud bebas sebagai benda dalam dirinya sendiri (free being as thing in itself), atas kausalitas noumenal dan yang bisa dipahami dari wujud semacam itu.

"Sesungguhnya, hukum moral adalah hukum kausalitas melalui kebebasan, dan dengan demikian merupakan hukum alam tentang kemungkinan yang bisa dilampaui" (The moral law is in fact a law of causality through freedom, and thus a law of the possibility of a suprasensible nature). (Critique of Practical Reason, 66/47)

Peraturan dengan konsep kebebasan adalah dimana akal budi, di situ menentukan konsep tersebut.

Kebebasan membuat peraturan dalam fakultas hasrat, yaitu untuk kepentingan praktisnya sendiri. Ranahnya adalah benda-benda dalam diri mereka dianggap sebagai nomena (noumena), sejauh mereka membentuk sifat yang bisa dipahami.

"Pertama, hal praktis, menyangkut pada eksistensi sebuah obyek, dan kedua, sebagai aturan praktis dari akal budi murni, dengannya membawa keniscayaan yang mengacu pada terjadinya suatu tindakan; demikian pula halnya dengan hukum praktis, dan secara khusus bukan hukum alam [menyangkut tindakan] melalui dasar penentu empirik bukan hukum kebebasan menurut kehendak yang bisa ditentukan secara bebas dari segala yang bersifat empirik (melalui kehadiran hukum secara umum dan bentyuknya)." (Critique of Practical Reason, 90/68)

Keterkaitan antara kebebasan dan kehendak di satu sisi kosong dan di sisi lain penuh. 

Pada titik terdekat, kebebasan itu juga sebagai kehendak. Pada titik terjauh, kebebasan terlepas dari kehendak. Konsep kebebasan sebagai kehendak untuk memilih.

Kebebasan juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta, seperti kebebasan untuk acuh tak acuh. Anak sekolah ingin naik kelas atau tidak, pasien ingin sembuh atau tidak terserah dari pilihan bebas. Selain itu, kebebasan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dengan akibat dari pilihan bebas. Maka, kebebasan yang demikian sebagai kebebasan rasional.

Permasalahannya, ketika kebebasan diperhadapkan dengan pilihan atau kehendak yang dimiliki setiap individu. Sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh penguasa otoriter atau lalim, maka dia menyerap kebebasan sebagai energi kesenangan untuk bertindak sesuai dengan logika dan seleranya sendiri. Begitu pula, kaum buruh atau warga miskin memiliki kebebasan sebagai anugerah yang terbeli.

 Jika kemungkinan logis muncul di balik kebebasan sang penguasa dan kaum buruh untuk menciptakan sesuatu sesuai dengan posisi masing-masing. Penguasa atau pemilik modal ingin mengambil keuntungan dari produksi melalui kaum buruh. Nyatanya, kaum buruh diperas dan diprogram laksana mesin. Kebebasan kaum buruh cukup sederhana. Hak-haknya harus menjadi bagian dari ide kebebasan kaum buruh. Mereka berhasrat untuk bebas dari tirani pemilik modal.

Itulah gambaran diantara bentuk kebebasan praktis. Jika saya mengatakan kebebasan tidak pernah menjadi karakteristik pilihan atau kehendak.

Pilihan atau kehendak tidak bisa disebut sebagai pencipta sebab di balik individu bebas. 

Ide kebebasan tidak bergantung pada berapa banyak penampakannya, karena pilihan atau kehendak selalu dalam keterbatasan.

Bentuk kebebasan dalam tindakan keseharian menandai kebebasan dibatasi oleh kebebasan itu sendiri. Misalnya, tetangga memutar musik dengan suara keras. Tetangga di sebelahnya akan terasa sangat terganggu. Tetangga yang satu bebas bermusik, tetangga lainnya ingin bebas dari suara yang tidak mengenakkan.

"Pertama, hukum moral menentukan kehendak secara langsung dan secara obyek dalam penilaian akal budi. Bagaimanapun, kebebasan yang kausalitasnya hanya bisa ditentukan melalui hukum terdapat dalam fakta bahwa hal ini membatasi semua kecenderungan, termasuk harga diri, menjadi kewajiban terhadap hukum murni. Keterbatasan ini menimbulkansatu efek terhadap perasaan dan menghasilkan sensasi rasa tidak senang, yang secara a priori bisa diketahui dari hukum moral." (Critique of Practical Reason, 102/78)

Jadi, sebaliknya, bagaimana perasaan Anda jika tetangga di sebelah memutar musik dengan suara kencang-kencang? Tidak enak kan? Cubit tangan Anda dahulu sebelum tetangga Anda. 

Pilihan atau kehendak, entah itu sesuatu yang tanpa akhir maupun berakhir kerap merupakan suatu cara yang ditentukan oleh akal budi. Itulah sebabnya dulu sering kita mendengar ungkapan kebebasan yang bertanggungjawab.

Saya percaya, kebebasan seturut hukum alam dengan mekanismenya sendiri. Ide kebebasan selalu bersama hukum alam yang harmoni. 

Kekacauan alias kekerasan berarti tidak sesuai antara kebebasan secara a priori dan hukum alam yang menjadi bagian dari dunia indera.

Konsep kausalitas (hukum sebab akibat) menurut Kant dalam kaitannya dengan kebebasan. Dia mengatakan: "Konsep kausalitas sebagai satu keniscayaan alamiah, ia tidak seperti konsep kausalitas sebagai kebebasan, hanya mengenai eksistensi berbagai hal sejauh dia bisa dipastikan pada saat yang tepat dan konsekuensinya dari hal-hal tersebut bisa dimungkinkan sebagai suatu yang nampak bertentangan dengan kausalitas mereka sebagai hal-hal yang ada dalam dirinya." (Critique of Practical Reason, 120/94)

Satu sisi, ide kebebasan sendiri adalah cara wujud dan cara berpikir. Seseorang tidak berada dalam jagat kebebasan jika dia sendiri tidak paham dan yakin akan wujud dan pikirannya sendiri. Anda merasa di ruang hampa karena kebebasan itu melekat dalam diri Anda.

Pada sisi lain, pilihan atau kehendak adalah tanda implikasi dari kebebasan. Setelah merahi cara wujud dan cara berpikir menjelma menjadi penegasan dan peniadaan yang diturunkan oleh ide kebebasan.

Kehendak yang direduksi dari kemungkinan-kemungkinan tidak pernah ada dalam tindakan, selain dalam dunia ide. 

Karena itu, intelek seiring akal budi tidak ada yang berkaitan dengan "pencipta" hukum sebab akibat. Sehingga wajarlah, setiap individu bukan merupakan penyebab bebas dari setiap tindakannya.

Kant rupanya menegaskan kembali konsep kebebasan dalam Fundamental Principles of the Metaphysic of Ethics (1959 : 91). "Karena itu kebebasan adalah hanya Ide [Konsepsi Ideal] dari Akal Budi, dan realitas obyektifnya berada dalam keraguan itu sendiri, ..." Begitulah, sekelumit pandangan Kant tentang permasalahan kebebasan.

Banyak hal yang belum terungkap dalam catatan ini dalam kaitannya dengan kebebasan dan permasalahannya dalam persfektif Kant. Akhirnya, kebebasan tidak lebih dari ilusi kesadaran individu begitu mendalam sejauh kesadaran semu dengan kausalitasnya yang menyelimuti ide kebebasan ala Spinoza.

Patut diakui, manusia tidak terlahir bebas saat bersentuhan dengan dunia materi. Menjadi bebas dan dianggap jika dia mengikuti akal budi dan nuraninya. Dalam keterbatasan, ada sisi yang berbeda dalam kebebasan yang mengirinya. Cahaya, gelap atau melampaui keduanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun