Cobalah kita bayangkan berapa persen kaum buruh yang berkontribusi terhadap pembangunan kota?Â
Itu dulu. Belum lagi sektor lain, misalnya perdagangan, industri, jasa, dan sejenisnya.
Nasib kaum bruh diakui punya kepentingan besar di situ. Tetapi, selama ini, kue pembangunan siapa yang lebih nikmati?
Kita tidak ingin ada bantah-bantahan. Soalnya itu, mengapa proses dan tahapan partisipasi publik tidak terpenuhi? Yang instan lebih nikmat! Itu jalannya!
Apa jadinya? Belum tuntas permsalahan yang satu, muncul yang lain. Tergesa-gesa mucnul karena tidak partisipasi publik.Â
Jangankan memenuhi proses dan tahapan, sedangkan regulasi begitu makan waktu lama belum dijamin tidak ada permasalahan. Apa contohnya, KUHP baru.Â
Sudahnah, kita lewatkan yang satu itu dulu. Nyatalah, setiap produk hukum yang tidak melibatkan partsipasi publik akan terjadi pro dan kontra. Gontok-gontokan sana sini tidak terelakkan.
Bagaimana mungkin keluaran produk hukum maksimal, sedangkan proses dan tahapan tidak terpenuhi. Dianggap kelar yang tidak kelar.Â
Kita tidak salahkan Baleg (Badan Legislasi) DPR atau pihak mana pun. Tetapi, tolong dengarkan jeritan nurani anak bangsa ini!
Apa susahnya juga ketuk palu Perppu persis tidak susahnya, kecuali terimajinasi ada gangguan dan tekanan dari pihak luar saat pembahasan rancangan Perppu.
Lantaran dianggap repot jika terjadi partispasi publik dalam pembahasan rancangan Perppu, maka jadinya yang itu saja.Â