Mendadak saya memicingkan mata.
Lalu, sebuah permainan fantasi ideologi di ruang publik merosot seiring masa permainan ‘kenikmatan puncak’ dari "sang Ayah" (rezim otoriter) menjadi akhir pemujaan diri dari "Anaknya" akibat mimpi masa depan tidak lagi penting diperjuangkan (Indonesia 2085). Kita tidak lagi menanggapi peristiwa lunak sebagai revolusi yang menyimpan bom waktu akibat bukan lagi dari ruang yang sumpek dan berdesak-desakan.Â
Tetapi, akibat tidak tersalurkannya kenikmatan atau hasrat pada sesuatu yang kasat mata, maka yang mencuat adalah mengubur utopia. "Eh, rupanya saya terjaga, bukan tertidur."
"Oh, utopia!" Saya demam pada dunia teka-teki dan  pada alam pikiran saya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H