Peristiwa kegilaan menandai batas garis mesin perang terhadap permainan kebenaran atau permainan topeng. Kegilaan sebagai momentum.
Dalam momentum kelahiran perang, kita tidak terbebas dari realitas digambarkan yang bukan diri kita. Kegilaan mampu menghubungkan setiap peristiwa basa-basi dengan wujud aktual.
Betapa tingginya jati diri, saat kegilaan melintasi dirinya sendiri. Apabila kita ingin selalu bertanya tentang ‘kegilaan’, maka hidupkanlah perang terhadap permainan topeng!
Lebih dari itu, kegilaan bukanlah akibat gangguan saraf atau sakit jiwa, melainkan tanda kegilaan yang lain.
Belum lagi, kita diberitahukan tentang koruptor yang menjadi narapida yang dibebaskan secara bersyarat karena kebijakan asimilasi dan integrasi, termasuk narapidana koruptor dari lembaga penegak hukum.
Lalu, untuk apa digembar-gemborkan hukum laksana pedang bermata dua. Hukum tumpul di atas, tajam di bawah. Hanya sebatas di atas kertas.
Menjadi orang-orang ingin berubah juga berat, karena bisa tersimpan motif tertentu dan kepentingan yang terselubung.
Misalnya, kasus "polisi tembak polisi." Satu kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua yang didalangi oleh Ferdy  Sambo paling heboh dan penuh rekayasa pembunuhan sepanjang tahun 2022.
Kegilaan lain yang tidak kalah ramai dibicarakan di media daring, yaitu kasus tambang ilegal yang melibatkan bekas Aiptu Ismail Bolong.
Diakuinya, jika "upeti" yang dipersembahkan sebesar 6 (enam) milyar rupiah pada petinggi Polri. Untuk apa? Diantaranya untuk "mengamankan" bisnis ilegal melalui jalur bos "di atas" supaya "tidak terendus" oleh aparat penegak hukum.
Satu hal yang tidak diharapkan menimpa lembaga penegak hukum. Tetapi, apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur.