Pemikiran klasik nampaknya masih menyembunyikan ironi dan kelucuan. Apalagi dari satu konsep yang memungkinkan filsafat dipermasalahkan sedemikian rupa.
Apa jadinya, jika saya mempermasalahkan filsafat. Tidak lucu kan?
Saya bersama para besti di masa anak muda sempat menggelar kajian filsafat. Ingin tahu berapa yang hadir. Tidak cukup selusin yang hadir.
Diakui, daya minat terhadap kajian filsafat rendah. Animo kajian filsafat merosot. Hanya segelintir saja yang berminat membangun tradisi keilmuan di kalangan mahasiswa.Â
Itu dulu, bagaimana sekarang? Justeru daya minat kajian filsafat yang lunglai menjadi satu permasalahan.Â
Tetapi, kami anggap itu sebagai seni, sesuatu yang menantang.
Tidak keliru ada satu ungkapan. Memulai sesuatu itu yang berat. Saya kira, dimulai dari hal-hal kecil itu penting, ternyata banyak yang keok. Langkah kecil yang terseok-seok membuat peminat kajian filsafat memilih mundur secara teratur.
Begitulah cara berpikir sebagian besar kawula muda, yang sedang diuji.
Apakah mereka mempermasalahkan pemikirannya sendiri?Â
Padahal, mempermasalahkan pemikiran serupa melihat bulan purnama laksana "bakpao" atau "bola salju" yang tergantung di langit, itu tidak kocak. Mempermasalahkan filsafat berarti menyediakan ruang untuk memainkan permainan bebas dengan batas-batas tertinggi dan terendah dari pemikiran.
Bagi orang-orang yang belum berpikir tentang permasalahan, maka mulailah mempermasalahkan ide dan pemikiran, bahkan kebenaran itu sendiri. Mengenai permasalahan, bukan berarti seseorang sengaja mencari permasalahan.