Sudah
bukan rahasia umum, jika daerah Papua kaya akan sumber daya, berupa emas, gas hingga batubara. Syahdan cadangannya disebut terbesar di dunia.Sejak 90-an, suara yang berbeda dan kontras antara kekayaan alam dan keadilan Papua, perlahan-lahan menandakan ada 'jurang' yang terbentuk.
Mirip di wilayah lain Indonesia, jurang yang lebar tercipta berupa kesenjangan sosial. Jadi, bukan soal jurang, tetapi ironi. Papua kaya, tetapi terkebelakang.
Nah, suara keadilan menyelinap dalam ruang batin yang membuncah dan menyorot jurang kesenjangan.
Suara yang menerobos permukaan apa yang nampak. Suara yang menggema ke segenap penjuru.
Saya ingat, suara itu terdengar di malam hari, di masa yang telah berlalu. Saya pernah mendengar suara itu, tentang teriakan keadilan Papua (waktu itu masih disebut Provinsi Irian Jaya) melalui diskusi Profesor Buya Syafii Maarif di sebuah tempat di Kota Makassar, sebelum tahun 1998.
Kini, tuntutan keadilan Papua terdengar sayup-sayup, bahkan nyaris pupus.
Saya kira, setiap warga mesti belajar dari pergolakan rasial, yang pernah terjadi di Papua.
Lalu, ketajaman gambar wajah Papua ditandai dengan “Pemulihan Papua Menjadi Prioritas” memasuki berita utama dari surat kabar nasional.
Saya tidak akan menggambarkan sebuah berita utama di atas permukaan kertas, melainkan kemiripan peristiwa di balik perbedaan gambar datar dan bergejolak di Papua.
Tetapi, sayangnya pembicaraan tentang ‘Referendum Papua’ atau ‘Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat’ masih menjadi wilayah ‘permainan’ politik tertentu.