Suatu diskursus kebijakan pemerintah mengenai proses seleksi calon rektor perguruan tinggi memungkinkan terbuka bagi calon dari luar negeri.
Coba kita ingat tentang kuasa disipliner di tingkat mikro! Misalnya, penilaian dari Dewan Guru Besar Universitas Indonesia atas penolakan Ade Armando menjadi Guru Besar.
Penilaian dari Dewan Guru Besar perguruan tinggi tersebut menyoroti permasalahan integritas, etika, dan tatakrama.
Tetapi, penjelasannya tidak jelas apa indikatornya dan tanpa ada pembuktian secara ilmiah yang mendukung pelanggaran atau kesalahannya.
Saya tidak mengerti mengapa penolakan itu justeru Ade Armando makin "genit" memainkan narasi panas belakangan ini.
Selain itu, usai Ade Armando "diringsek" oleh anggota massa di kegiatan tempo hari lantaran "kebebasan berbicara" malah berbeda dengan razia buku-buku yang bertentangan dengan falsafah negara. Kasus yang berbeda, tetapi akhir-akhir ini masih menjadi bagian dari diskursus tentang relasi antara kuasa dan pengetahuan.
Saya tahu diri. Saya bahkan mungkin dianggap sok-sokan berbicara tentang kuasa.Â
Tetapi, sudahlah. Sekarang saya ingin bertanya. Bagaimana kawan, apa itu kuasa?
"Baiklah kalau begitu, bro!"Kuasa berarti kemampuan untuk keluar dari kemandekan setelah ditinggikan dirinya dengan hal-hal yang bisa diserap dan dilepaskan, sehingga kuasa menjadi perang bisu menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing.Â
Foucault menolak jika ada pandangan negatif terhadap kuasa, seperti pengurungan, represi, sensor, abstraksi, dan penyembunyian. (lihat Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Vintage Books, New York, 1995, hlm. 194)
Secara umum harus diakui, bahwa kuasa lebih beroperasi daripada dimiliki. Kuasa bukan merupakan kumpulan hak istimewa diambil atau dipertahankan kelas dominan.