gempa dan tsunami, 28 September 2018 di Palu dan Donggala.
Andaikata kita ada di sana pada saat peristiwa mengerikan. Tidak terbayangkan saat dan setelah terjadi peristiwaEmpat tahun berselang, bencana gempa Palu masih tetap jelas di ingatan. Selama sehari, terjadi 13 kali gempa bumi mengguncang wilayah Sulawesi Tengah.
Diberitakan, bahwa dampak bencana terlihat di berbagai wilayah, seperti Palu, Sigi, Parigi Moutong, dan Donggala mengalami kehancuran.Â
Hari jumat, siang, pukul 14.00 WIB terdengar kabar telah terjadi gempa. Satu orang meninggal dunia, 10 orang luka, dan puluhan rumah rusak di Singaraja Kabupaten Donggala.
Dalam urutan kronologis, tidak ada orang satu pun menyangka akan terjadi gempa susulan secara berturut-turut.Â
Hari merangkak sore, sekitar pukul 17.02 WIB betul-betul terjadi gempa susulan dengan kekuatan 7,4 kembali menerjang apa yang ada di hadapan dan disamping kiri dan kanannya. Diperkirakan pusat gempa berada di kedalaman 10 kilometer di jalur sesar Palu Koro.
Kompas.com (28/09/2018) mengisahkan begitu baik tentang peristiwa gempa dan tsunami. Saat itu, gempa "memboncengi" bencana tsunami hingga ke perairan di Teluk Palu. Gempa seakan-akan "kompak" dengan tsunami. Ada semacam "alarm" berstatus siaga dan waspada dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelum tsunami "mengamuk."
Dinyatakan, tsunami betul-betul terjadi pada pukul 17.22 dengan ketingian enam meter, 30 menit setelah peringatan, maka sebelumnya BMKG segera mencabut statusnya, pukul 17.37 WIB.Â
Di tempat lain, seperti di bagian luar Teluk Palu telah meluncur tsunami yang dipicu oleh gempa bersifat lokal. Meskipun demikian, warga sudah siap-siap angkat kaki untuk mengungsi.
Siapa yang tidak cemas dan panik. Warga sudah terlanjur waspada atas peringatan dini. Berharap bala bantuan segera datang, warga memanjatkan doa, semoga diberi perlindungan dan keselamatan dari marabahaya gempa dan tsunami
Jika hitung atau diukur, titik tertinggi tsunami sekitar 11,3 meter, yang terjadi di Desa Tondo, Palu Timur, Kota Palu. Sedangkan titik terendah tsunami sekitar 2,2 meter, yang terjadi di Desa Mapaga, Kabupaten Donggala. Baik titik tertinggi dan titik terendah tsunami sama-sama digambarkan mengerikan.
Tetapi, likuifaksi (tanah bergerak) yang menerjang wilayah Petobo, Palu, dimana tanah berubah menjadi lumpur serupa cairan di permukiman warga. Terutama tsunami dan likuifaksi telah meluluhlantakkan bangunan dan benda-benda. Dilaporkan, bahwa sebagai akibat dari gempa, tsunami, dan likuifaksi mampu menghancurkan wilayah seluas 180,6 hektar di Petobo dan 202,1 hektar di Jono Oge, Kabupaten Sigi. Semacam "tarian kematian" dari likuefaksi, sehingga mengakibatkan 2.050 bangunan mengalami kerusakan di wilayah Petobo. Di Jono Oge, sebanyak 366 bangunan mengalami kerusakan. Sekurang-kurangnya ada sekitar 2.086 korban meninggal dunia, 671 orang hilang, dan 10.679 jiwa luka berat. Dilaporkan juga, sebanyak 82.775 warga mengungsi di sejumlah titik. Sarana prasarana pendidikan dan kesehatan serta infrastruktu jalantidak luput dari hantaman. Sebanyak 2.736 sekolah rusak dan terdapat 20 fasilitas kesehatan dan 12 titik jalan rusak berat.
Karena lugu dan tidak pura-pura, saya juga baru dengar istilah likuifaksi seusai ikutan berita gempa dan Tsunami di Palu. Mendengar saja ngeri dan bulu kuduk bisa merinding dibuatnya. Saya ingin seperti hening cipta dari kejauhan.Â
Sedih mendengar campur khawatir. Pasalnya, ada beberapa keluarga dekat sudah lama tinggal di sana sebagai profesi dosen, kerja kantoran, hingga apoteker, ASN atau apalah namanya. Membayangkan betapa genting dan getirnya hidup dilanda bencana dahsyat.Â
Terdengar kabar, selain saudara-saudara kita yang rumahnya ambruk, retak, dan ada juga sanak keluarga yang berusaha menyelamatkan dirinya dengan mengungsi ke tempat ketinggian. Mereka membawa barang-barang seadanya dalam pengungsian sementara.
Paling ngeri dan berbahaya saat lepas gempa dan tsunami muncul likuifaksi alias "tanah bergerak." Itu juga hasil jepretan kamera atau rekaman video via hape seseorang tentang apa dan bagaimana tampang "tanah bergerak." Wanti-wanti katanya ada gempa dan tsunami susulan.Â
Mungkin gempanya sudah kurang dari 7 skala richter. Lanjut ancaman "tanah bergerak" akan mengintai di bawah telapak kaki mereka yang korban bencana.
Kamera dari telepon genggam memainkan alur, celah, dan retakan melalui tatapan melawan tontonan di sekitarnya. Dalam rekaman video, berikutnya berkembang-biak dan merambat keluar melewati batas-batasnya melalui citra-tubuh-teks visual. Gempa, tsunami, dan likuifaksi (tanah bergerak) menampilkan dirinya dari satu layar ke layar yang lain.
Kini, di sini atau di sana, fotografi akhirnya tida bisa menyamarkan kenyataan. Sebuah lensa kamera mengambil-alih tempat lensa mata manusia, titik dimana kameralah menjadi mata, tetapi tersembunyi di balik rahasia yang digandakan.
Sebelum berlarut-larut laporan tentang bencana. Alangkah baik disajikan kisang singkat, yang kemungkinan bukan secarah utuh dari keseluruhan. Sekadar untuk mengungkapkan titik perhatian terhadap bencana alam, khususnya fenomena likuifaksi yang mengiringi gempa dan tsunami. Hanya satu kisah yang terekam dan diangkat dalam kesempatan ini, yang direkam oleh tribunnews.com (19/10/2018).
Di sini ada kisah Ramna, korban gempa Palu yang selamat dari likuefaksi. "Saya sudah masuk dalam rekahan bumi yang tiba-tiba terbelah, namun saya kemudian didorong ke atas oleh tanah yang ada di dalamnya," tutur Ramna (33), warga Petobo yang selamat dari bencana likuifaksi di Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat (19/10/2018).
Ini mungkin suatu keajaiban. Ramna menyangka akan mati tertelan bumi saat gempa bumi bermagnitudo 7,4 di Sulteng. Namun, ia masih diberi kesempatan untuk meneruskan kehidupan ini. Ia selamat bersama sejumlah tetangganya yang kini mengungsi di depan komplek pekuburan Petobo.
Kita bisa bayangkan peristiwa likuifaksi (tanah bergerak). "Jika tidak dimuntahkan lagi oleh tanah, saya pasti tenggelam dalam lumpur. Saya bersyukur masih diberi kesempatan hidup," begitu pengakuan Ramna.
Mengapa dia bisa lolos dari bencana itu? Ramna mengaku tertolong oleh pohon yang tumbang. Dia terdesak ke atas oleh tanah dalam rekahan, Ramna sempat meraih cabang pohon yang tumbang di atasnya. Lewat kayu inilah Ramna sekuat tenaga berdiri dan keluar dari rekahan tanah. Setelah berada di atas, secepatnya Ramna keluar dari "jahannam" lumpur Petobo dan mencari tempat yang aman.
Jika memang sudah ditakdirkan selamat, maka selamatlah Ramna. Syukur, rupanya dari tempat yang sama tidak jauh ada lokasi yang aman. Lain halnya dengan mertuanya, Harina (60), nasib ngenes wanita bertubuh besar nampaknya terseret bersama puing-puing rumahnya dan terjung bebas ke dalam likuifaksi (tanah bergerak).
Nyatanya, dalam puing, Ramna tidak sendiri. Ada Rollly (39), anak Harina dan Vini (16) anak Ramna yang tinggal dengan neneknya. "Rolly memang cacat sejak lama, ia tidak bisa apa-apa dalam menghadapi bencana ini," tutur Ramna. Terjebak dalam puing-puing rumah membuat Harina, Rolly dan Vini tidak bisa apa-apa meskipun mereka berusaha keras ingin keluar dari himpitan beton.
Singkat cerita, setelah terjebak dalam reruntuhan, Ramna dievakuasi di tempat yang aman dan selamat.Â
Setelah sepenggal dan sepotong-potong tentang kisah Rumna akan diurai sedikit juga, yang mungkin bisa kepala "pening" dan "sulit dicerna" dibuatnya. Apa itu? Cekadautt.
Dalam tatapan, mereka nampak tidak menghiraukan tentang apa itu pelbagai interval yang rapuh, seperti potret, fotografi, citra posting, dan gambar stereoskopis yang kosong, tetapi tetap padat dan nyata. Melalui rahasianya sendiri yang terjaga, saat kilatan cahaya dari sebuah kamera acapkali membuyarkan tatapan kosong.Â
Lensa mata fisik menyimpan kisah tersendiri yang tidak terbayangkan terutama dari orang-orang yang terlibat atau tertimpa dan selamat dari musibah bencana menegaskan. Tele-media berbicara tentang gempa bumi dan tsunami pada kita melalui matanya sendiri. Sebuah mata yang melampui mata telanjang sebagai titik awal untuk melihat dunia.Â
'Model miniaturisasi' malapetaka gempa, tsunami atau likuifaksi (tanah bergerak) di Palu dan di sekitarnya, dari tempat kejadian melalui citra tubuh-layar-teks visual dari kamera telepon seluler, yang gema dan arusnya begitu dekat dengan kita.
 Tatapan kamera dan seseorang atau banyak orang melampaui produk retakan, turunan tajam, kontur yang patah, bahasa yang tidak serasi, dan obyeknya mirip tebing terjal menggambarkan sebuah lingkaran. Ia direngkuh oleh mata laksana mata sang elang. Tatapan mata dibalas mata, yaitu sang mata gempa dan tsunami di Bumi.Â
Sebuah "Mata kamera" yang saling memadatkan satu sama lain dengan sang mata fisik. Ia merujuk dirinya sendiri dan berbalik pada pertanyaan mengenai batas-batasnya.Â
Mata anak-anak, pemuda, dan orang dewasa seakan-akan tidak lebih dari sebuah lentera malam yang memendarkan cahaya ganjil, menandakan kehampaan asal-usul kemunculannya, dan arah kemana ia menyoroti segala sesuatu yang diterangi dan disentuhnya.
Setiap perpaduan sang Mata yang menghimpun suatu obyek yang tidak terbayangkan. Dari saksi langsung ketika terjadi gempa dan tsunami di Palu disusul oleh likuifaksi (tanah bergerak). Seseorang berkata "Saya sulit percaya, ilmu alam saya tidak sampai di tingkat ini. Ini fenomena alam langka bagi saya ... Tanah terbelah dan ambruk lumayan lebar, sekitar 10 meter dengan kedalaman sekitar 5 meter. Setelah gempa susulan lagi, tertimbun lagi menjadi rata ... Rumah paman saya di sekitar Islamic Center Kelurahan Petobo hilang tak berbekas. Paman saya masih melihat rumahnya berjalan sendiri. Yang mengherankan, tiba-tiba paman saya sudah berada di dekat Terminal Petobo yang jaraknya hampir 1 kilometer. Padahal dia hanya tiarap." Tidak sedikit kisah nyata dari orang-orang yang mengalami langsung di lapangan. Peristiwa itu begitu memilukan dan menegangkan, bahkan tidak terbayangkan dan tidak terpikirkan.
Kisah nyata mengenai seorang dengan rumahnya berjarak dari pantai sekitar 100 meter di Palu, dia, keluarga, dan rumahnya masih utuh, tidak berkekurangan. Paman, tante, sepupu, dan sekampung tidak sedikit bermukim di Palu dan sekitarnya.Â
Ada orang dan keluarganya sedang berada dalam rumahnya dengan gelombang tsunami hanya melewati rumahnya dan dia sempat melihat orang-orang berlarian menyelamatkan diri.Â
Tetapi, dia dan keluarga yang berada dalam rumahnya selamat, tidak ada kekurangan apa-apa. Ini karena sang Mata, sebuah bulatan putih kecil yang mengitari kegelapannya, melacak sebuah lingkaran pembatas yang hanya dapat dilintasi oleh pandangan.
Kegelapan "tanah bergerak" yang ada didalamnya seiring dengan inti kelamnya sang Mata. Keduanya bergerak saling berlawanan arah. Jurang gelap dan retakan yang diciptakan oleh "tanah bergerak" menolak dan sang mata kamera menerima sebuah sumber yang melihat, yang menerangi dunia.
Tetapi, sang Mata juga menghimpun semua cahaya dunia dalam iris, titik hitam kecil itu, dimana cahaya diubah menjadi malam benderang sebuah citra.Â
Sang Mata adalah cermin dan lentera. Ia memancarkan cahaya ke dunia (khalayak ramai terutama dari sekian ratus orang bergulat hingga selamat dari bencana gempa dan tsunami melalui mata mereka), mengendapkan cahaya dalam ketembus-pandangan sumbernya.Â
Bulatan putih nampak laksana semburan cahaya dari sang mata kamera berlatar "tanah bergerak." Orang-orang yang menerima citra layar gempa dan tsunami melalui penyebaran rekaman gambar begitu berbeda dengan sang Mata kemera berlatar "tanah bergerak."Â
Sementara, orang-orang yang terlibat langsung sebagai korban yang selamat dalam peristiwa memiliki sifat ekspansif, layaknya sebuah jeritan yang meledak ke arah pusat malam dan cahaya yang ekstrim adalah dirinya. Baru saja berhenti menjadi dirinya saat "tanah bergerak" muncul tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Mereka diam terpaku menatap langit. Masih ada cahaya memancar dari Mata kamera, yang menyibak takdir ratusan hingga ribuan orang menghadapi "tanah bergerak." Beruntunglah orang-orang yang menyaksikan dari jauh melalui layar telepon seluler. Waspada dan sigap dibuatnya. Mereka tidak berani menatap mata dengan bulatan hitam bak jurang dalam "tanah bergerak." Gempa bumi dan tsunami adalah "Guru" kita.
Tatapan yang melintasi batas bulatan sang Mata, yang membentuk mata-mata lain, dalam keberadaannya begitu rahasia.Â
Satu tatapan membawanya semakin menjauh dari aliran cahaya  (suatu sumber yang memuncrat keluar, memancarkan, dan mengalirkan air mata, seperti darah), melemparkan sang Mata keluar dari dirinya, mengantarnya pada "sang Batas," dimana rekaman meledak dalam kilas keberadaannya yang segera menghilang. Ketika sebuah bola putih kecil, berjaringan syaraf, berurat darah yang tersisa, dan sebuah mata yang eksesif dari tatapan sekejap saja disalurkan.
Di beberapa tempat, seperti Donggala, Palu, dan sekitarnya, yaitu dari mana tatapan pernah melintas.Â
Ketika yang tersisa hanya sebuah rongga tengkorak dan bulatan hitam yang dari mata tercerabut. Tetapi, keseluruhan menawarkan "ketidakhadiran humor-lelucon" menjadi tatapan yang kosong dan mati.
Betapa sang Mata menunaikan aspek terpenting adalah tidak ada lagi permainan dari gempa bumi dan tsunami.Â
Korban-korban tatkala dipaksa dari posisi asalnya hingga ia begitu samar mengetahui asalnya. Mereka tidak dibuat mengarah ke atas saat terlihat "tanah bergerak" dalam suatu gerakan, yang mengantarnya kembali pada malam dan menjadi bintang di bagian dalam tengkorak. Mereka tidak lebih dari wajah-wajah pusat dan tatkala "tanah bergerak" menunjukkan pada kita suatu permukaan lazimnya disembunyikan, putih, dan tidak terlihat.Â
Di hadapan "tanah bergerak," mereka ingin siang dalam suatu gerakan yang mewujudkan warna putihnya sendiri (warna putih yang tidak diragukan lagi). Mata merupakan sebuah citra kejelasan dan cerminan permukaannya.
Tetapi, persis karena alasan ini, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan bergunjing ria atau emeak-emak menghindari bergosip.Â
Lebih baik mereka siap-siap berhadapan dengan kamera telepon seluler. Berharap jaringan sudah pulih kembali dan bisa berkomunikasi dari kejauhan dan seberang sana.Â
Gempa yang terjadi di Palu dan Donggala memiliki pergerakan bumi yang berubah bentuk. Ia bergerak secara vertikal sepanjang patahan dan sebagian besar bergerak secara horizontal.Â
Sebaliknya, bola yang menengadah menyiratkan mata paling terbuka sekaligus paling tidak tertembus. Ia membuat bulatannya berputar, sembari tetap sepenuhnya sama dan berada di tempat yang sama. "Tanah bergerak" menjungkir-balikkan dan menyedot benda-benda yang di atasnya. Siang dan malam menerobos batasnya, tetapi hanya untuk mendapatinya sekali lagi berada di garis yang sama dan dari sisi yang lain.
Apa yang kita butuhkan untuk melihat tidaklah melibatkan rahasia interior apapun atau penemuan sebuah dunia yang lebih kelam. Kelunglaian dari posisi biasanya dan dibuat bergerak kedalam orbitnya.Â
Ketika "tanah bergerak" muncul, maka sepasang mata atau lebih segera dulu untuk tidak memancarkan cahayanya. Perhatian seksama ke bayangan yang akan terjadi di masa depan dengan sebuah gua tulang purbakala.Â
Bagaimana mungkin para korban yang selamat bisa membayangkan masa depan yang masih jauh ke depan saat panik melanda? Tetapi, mereka nampak menundukkan kepalanya hanya ke sebuah kuburan massa tanda: tubuh. Kemunculan mereka sebagai korban yang selamat dari gempa dan tsunami diperkirakan nampak berbeda dengan bayangan "kematian kecil" (ada juga orang berkata: "Kiamat telah datang dari gempa dan tsunami").
Tetapi, tepatnya, mereka mengisyaratkan kematian kecil yang dialami di tempat alamiahnya. Melalui kemunculan malapetaka di satu tempat, mata mereka membuat bisa berputar dan mawas.
Dalam kematian di balik sang mata (sang mata fisik dan Kamera), ia menjadikan garis cakrawala yang selalu berada di ketinggian.Â
Garis sang Batas yang terus-menerus mereka terobos, dalam tempat alamiahnya dan dalam cekungan, titik dimana tatapan berasal. Hal lain, saat batas baru diangkat ke suatu batas mutlak dari "tanah bergerak" oleh suatu pergerakan yang memungkinkan mata muncul di tempat lain.
Cekungan mata fisik memiliki kemiripan dengan cekungan samudera, tempat dimana gempa bumi menggerakkan gelombang besar air.Â
Akhirnya, gempa dan tsunami menjadi percakapan tidak terbatas, menjadi teks tertulis yang menggambarkan kapan terjadi. Ia tidak pernah berhenti berbahasa pada diri dan yang ada di luar dirinya. Pada saat kita menuju "sang Batas," tidak ada yang bisa kita lihat, kecuali menemukan diri kita dalam kehampaan, dalam pelintasan batas-batas "tanah bergerak" secara radikal menentang di hadapannya.Â
Satu cara, menyudahi gelak tawa dan air mata memulainya. Sang mata (fisik) tidak lagi sebagai bulatan putih dan lingkaran hitam berasal, tetapi linangan air mata. Ia muncul bukanlah karena rangkaian gempa, tsunami, dan "tanah bergerak," melainkan ketidakhadiran rasa untuk mensyukuri atas segala nikmat yang dianugerahkan padanya. Ingatkanlah, ada "sang Mata Lain" yang mengintai dan menyentuhku! Pening kepala kan! Mari kita sama-sama pening!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H