Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pelahap

7 November 2022   17:55 Diperbarui: 18 Januari 2025   19:12 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sisa peristiwa likuifaksi (tanah bergerak), Palu Sulteng, 2018 (Sumber gambar : tribunnews.com)

Bulatan putih nampak laksana semburan cahaya dari sang mata kamera berlatar "tanah bergerak." Orang-orang yang menerima citra layar gempa dan tsunami melalui penyebaran rekaman gambar begitu berbeda dengan sang Mata kemera berlatar "tanah bergerak." 

Sementara, orang-orang yang terlibat langsung sebagai korban yang selamat dalam peristiwa memiliki sifat ekspansif, layaknya sebuah jeritan yang meledak ke arah pusat malam dan cahaya yang ekstrim adalah dirinya. Baru saja berhenti menjadi dirinya saat "tanah bergerak" muncul tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Mereka diam terpaku menatap langit. Masih ada cahaya memancar dari Mata kamera, yang menyibak takdir ratusan hingga ribuan orang menghadapi "tanah bergerak." Beruntunglah orang-orang yang menyaksikan dari jauh melalui layar telepon seluler. Waspada dan sigap dibuatnya. Mereka tidak berani menatap mata dengan bulatan hitam bak jurang dalam "tanah bergerak." Gempa bumi dan tsunami adalah "Guru" kita.

Tatapan yang melintasi batas bulatan sang Mata, yang membentuk mata-mata lain, dalam keberadaannya begitu rahasia. 

Satu tatapan membawanya semakin menjauh dari aliran cahaya  (suatu sumber yang memuncrat keluar, memancarkan, dan mengalirkan air mata, seperti darah), melemparkan sang Mata keluar dari dirinya, mengantarnya pada "sang Batas," dimana rekaman meledak dalam kilas keberadaannya yang segera menghilang. Ketika sebuah bola putih kecil, berjaringan syaraf, berurat darah yang tersisa, dan sebuah mata yang eksesif dari tatapan sekejap saja disalurkan.

Di beberapa tempat, seperti Donggala, Palu, dan sekitarnya, yaitu dari mana tatapan pernah melintas. 

Ketika yang tersisa hanya sebuah rongga tengkorak dan bulatan hitam yang dari mata tercerabut. Tetapi, keseluruhannya menawarkan "ketidakhadiran lelucon" menjadi tatapan yang kosong dan mati.

Betapa sang Mata menunaikan aspek terpenting adalah tidak ada lagi permainan dari gempa bumi dan tsunami. 

Korban-korban tatkala dipaksa dari posisi asalnya hingga ia begitu samar mengetahui asalnya. Mereka tidak dibuat mengarah ke atas saat terlihat "tanah bergerak" dalam suatu gerakan, yang mengantarnya kembali pada malam dan menjadi bintang di bagian dalam tengkorak. Mereka tidak lebih dari wajah-wajah pusat dan tatkala "tanah bergerak" menunjukkan pada kita suatu permukaan lazimnya disembunyikan, putih, dan tidak terlihat. 

Di hadapan "tanah bergerak," mereka ingin siang dalam suatu gerakan yang mewujudkan warna putihnya sendiri (warna putih yang tidak diragukan lagi). Mata merupakan sebuah citra kejelasan dan cerminan permukaannya.

Tetapi, persis karena alasan ini, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan bergunjing ria atau emak-emak menghindari bergosip. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun