Apa yang kita butuhkan untuk melihat tidaklah melibatkan rahasia interior apapun atau penemuan sebuah dunia yang lebih kelam. Kelunglaian dari posisi biasanya dan dibuat bergerak kedalam orbitnya.Â
Ketika "tanah bergerak" muncul, maka sepasang mata atau lebih segera dulu untuk tidak memancarkan cahayanya. Perhatian seksama ke bayangan yang akan terjadi di masa depan dengan sebuah gua tulang purbakala.Â
Bagaimana mungkin para korban yang selamat bisa membayangkan masa depan yang masih jauh ke depan saat panik melanda? Tetapi, mereka nampak menundukkan kepalanya hanya ke sebuah kuburan massa tanda: tubuh. Kemunculan mereka sebagai korban yang selamat dari gempa dan tsunami diperkirakan nampak berbeda dengan bayangan "kematian kecil" (ada juga orang berkata: "Kiamat telah datang dari gempa dan tsunami").
Tetapi, tepatnya, mereka mengisyaratkan kematian kecil yang dialami di tempat alamiahnya. Melalui kemunculan malapetaka di satu tempat, mata mereka membuat bisa berputar dan mawas.
Dalam kematian di balik sang mata (sang mata fisik dan Kamera), ia menjadikan garis cakrawala yang selalu berada di ketinggian.Â
Garis sang Batas yang terus-menerus mereka terobos, dalam tempat alamiahnya dan dalam cekungan, titik dimana tatapan berasal. Hal lain, saat batas baru diangkat ke suatu batas mutlak dari "tanah bergerak" oleh suatu pergerakan yang memungkinkan mata muncul di tempat lain.
Cekungan mata fisik memiliki kemiripan dengan cekungan samudera, tempat dimana gempa bumi menggerakkan gelombang besar air.Â
Akhirnya, gempa dan tsunami menjadi percakapan tidak terbatas, menjadi teks tertulis yang menggambarkan kapan terjadi. Ia tidak pernah berhenti berbahasa pada diri dan yang ada di luar dirinya. Pada saat kita menuju "sang Batas," tidak ada yang bisa kita lihat, kecuali menemukan diri kita dalam kehampaan, dalam pelintasan batas-batas "tanah bergerak" secara radikal menentang di hadapannya.Â
Satu cara, menyudahi gelak tawa dan air mata memulainya. Sang mata (fisik) tidak lagi sebagai bulatan putih dan lingkaran hitam berasal, tetapi linangan air mata. Ia muncul bukanlah karena rangkaian gempa, tsunami, dan "tanah bergerak," melainkan ketidakhadiran rasa untuk mensyukuri atas segala nikmat yang dianugerahkan padanya. Ingatkanlah, ada "sang Mata Lain" yang mengintai dan menyentuhku! Pening kepala kan! Mari kita sama-sama pening!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H