Mata anak-anak, pemuda, dan orang dewasa seakan-akan tidak lebih dari sebuah lentera malam yang memendarkan cahaya ganjil, menandakan kehampaan asal-usul kemunculannya, dan arah kemana ia menyoroti segala sesuatu yang diterangi dan disentuhnya.
Setiap perpaduan sang Mata yang menghimpun suatu obyek yang tidak terbayangkan. Dari saksi langsung ketika terjadi gempa dan tsunami di Palu disusul oleh likuifaksi (tanah bergerak). Seseorang berkata "Saya sulit percaya, ilmu alam saya tidak sampai di tingkat ini. Ini fenomena alam langka bagi saya ... Tanah terbelah dan ambruk lumayan lebar, sekitar 10 meter dengan kedalaman sekitar 5 meter. Setelah gempa susulan lagi, tertimbun lagi menjadi rata ... Rumah paman saya di sekitar Islamic Center Kelurahan Petobo hilang tak berbekas. Paman saya masih melihat rumahnya berjalan sendiri. Yang mengherankan, tiba-tiba paman saya sudah berada di dekat Terminal Petobo yang jaraknya hampir 1 kilometer. Padahal dia hanya tiarap." Tidak sedikit kisah nyata dari orang-orang yang mengalami langsung di lapangan. Peristiwa itu begitu memilukan dan menegangkan, bahkan tidak terbayangkan dan tidak terpikirkan.
Kisah nyata mengenai seorang dengan rumahnya berjarak dari pantai sekitar 100 meter di Palu, dia, keluarga, dan rumahnya masih utuh, tidak berkekurangan. Paman, tante, sepupu, dan sekampung tidak sedikit bermukim di Palu dan sekitarnya.Â
Ada orang dan keluarganya sedang berada dalam rumahnya dengan gelombang tsunami hanya melewati rumahnya dan dia sempat melihat orang-orang berlarian menyelamatkan diri.Â
Tetapi, dia dan keluarga yang berada dalam rumahnya selamat, tidak ada kekurangan apa-apa. Ini karena sang Mata, sebuah bulatan putih kecil yang mengitari kegelapannya, melacak sebuah lingkaran pembatas yang hanya dapat dilintasi oleh pandangan.
Kegelapan "tanah bergerak" yang ada didalamnya seiring dengan inti kelamnya sang Mata. Keduanya bergerak saling berlawanan arah. Jurang gelap dan retakan yang diciptakan oleh "tanah bergerak" menolak dan sang mata kamera menerima sebuah sumber yang melihat, yang menerangi dunia.
Tetapi, sang Mata juga menghimpun semua cahaya dunia dalam iris, titik hitam kecil itu, dimana cahaya diubah menjadi malam benderang sebuah citra.Â
Sang Mata adalah cermin dan lentera. Ia memancarkan cahaya ke dunia (khalayak ramai terutama dari sekian ratus orang bergulat hingga selamat dari bencana gempa dan tsunami melalui mata mereka), mengendapkan cahaya dalam ketembus-pandangan sumbernya.Â
Bulatan putih nampak laksana semburan cahaya dari sang mata kamera berlatar "tanah bergerak." Orang-orang yang menerima citra layar gempa dan tsunami melalui penyebaran rekaman gambar begitu berbeda dengan sang Mata kemera berlatar "tanah bergerak."Â
Sementara, orang-orang yang terlibat langsung sebagai korban yang selamat dalam peristiwa memiliki sifat ekspansif, layaknya sebuah jeritan yang meledak ke arah pusat malam dan cahaya yang ekstrim adalah dirinya. Baru saja berhenti menjadi dirinya saat "tanah bergerak" muncul tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Mereka diam terpaku menatap langit. Masih ada cahaya memancar dari Mata kamera, yang menyibak takdir ratusan hingga ribuan orang menghadapi "tanah bergerak." Beruntunglah orang-orang yang menyaksikan dari jauh melalui layar telepon seluler. Waspada dan sigap dibuatnya. Mereka tidak berani menatap mata dengan bulatan hitam bak jurang dalam "tanah bergerak." Gempa bumi dan tsunami adalah "Guru" kita.