Tetapi, likuifaksi (tanah bergerak) yang menerjang wilayah Petobo, Palu, dimana tanah berubah menjadi lumpur serupa cairan di permukiman warga. Terutama tsunami dan likuifaksi telah meluluhlantakkan bangunan dan benda-benda. Dilaporkan, bahwa sebagai akibat dari gempa, tsunami, dan likuifaksi mampu menghancurkan wilayah seluas 180,6 hektar di Petobo dan 202,1 hektar di Jono Oge, Kabupaten Sigi. Semacam "tarian kematian" dari likuefaksi, sehingga mengakibatkan 2.050 bangunan mengalami kerusakan di wilayah Petobo. Di Jono Oge, sebanyak 366 bangunan mengalami kerusakan. Sekurang-kurangnya ada sekitar 2.086 korban meninggal dunia, 671 orang hilang, dan 10.679 jiwa luka berat. Dilaporkan juga, sebanyak 82.775 warga mengungsi di sejumlah titik. Sarana prasarana pendidikan dan kesehatan serta infrastruktu jalantidak luput dari hantaman. Sebanyak 2.736 sekolah rusak dan terdapat 20 fasilitas kesehatan dan 12 titik jalan rusak berat.
Karena lugu dan tidak pura-pura, saya juga baru dengar istilah likuifaksi seusai ikutan berita gempa dan Tsunami di Palu. Mendengar saja ngeri dan bulu kuduk bisa merinding dibuatnya. Saya ingin seperti hening cipta dari kejauhan.Â
Sedih mendengar campur khawatir. Pasalnya, ada beberapa keluarga dekat sudah lama tinggal di sana sebagai profesi dosen, kerja kantoran, hingga apoteker, ASN atau apalah namanya. Membayangkan betapa genting dan getirnya hidup dilanda bencana dahsyat.Â
Terdengar kabar, selain saudara-saudara kita yang rumahnya ambruk, retak, dan ada juga sanak keluarga yang berusaha menyelamatkan dirinya dengan mengungsi ke tempat ketinggian. Mereka membawa barang-barang seadanya dalam pengungsian sementara.
Paling ngeri dan berbahaya saat lepas gempa dan tsunami muncul likuifaksi alias "tanah bergerak." Itu juga hasil jepretan kamera atau rekaman video via hape seseorang tentang apa dan bagaimana tampang "tanah bergerak." Wanti-wanti katanya ada gempa dan tsunami susulan.Â
Mungkin gempanya sudah kurang dari 7 skala richter. Lanjut ancaman "tanah bergerak" akan mengintai di bawah telapak kaki mereka yang korban bencana.
Kamera dari telepon genggam memainkan alur, celah, dan retakan melalui tatapan melawan tontonan di sekitarnya. Dalam rekaman video, berikutnya berkembang-biak dan merambat keluar melewati batas-batasnya melalui citra-tubuh-teks visual. Gempa, tsunami, dan likuifaksi (tanah bergerak) menampilkan dirinya dari satu layar ke layar yang lain.
Kini, di sini atau di sana, fotografi akhirnya tida bisa menyamarkan kenyataan. Sebuah lensa kamera mengambil-alih tempat lensa mata manusia, titik dimana kameralah menjadi mata, tetapi tersembunyi di balik rahasia yang digandakan.
Sebelum berlarut-larut laporan tentang bencana. Alangkah baik disajikan kisang singkat, yang kemungkinan bukan secarah utuh dari keseluruhan. Sekadar untuk mengungkapkan titik perhatian terhadap bencana alam, khususnya fenomena likuifaksi yang mengiringi gempa dan tsunami. Hanya satu kisah yang terekam dan diangkat dalam kesempatan ini, yang direkam oleh tribunnews.com (19/10/2018).
Di sini ada kisah Ramna, korban gempa Palu yang selamat dari likuefaksi. "Saya sudah masuk dalam rekahan bumi yang tiba-tiba terbelah, namun saya kemudian didorong ke atas oleh tanah yang ada di dalamnya," tutur Ramna (33), warga Petobo yang selamat dari bencana likuifaksi di Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat (19/10/2018).
Ini mungkin suatu keajaiban. Ramna menyangka akan mati tertelan bumi saat gempa bumi bermagnitudo 7,4 di Sulteng. Namun, ia masih diberi kesempatan untuk meneruskan kehidupan ini. Ia selamat bersama sejumlah tetangganya yang kini mengungsi di depan komplek pekuburan Petobo.