Di kota, anak muda ditemani mimpi yang menggairahkan. Surat-surat yang dikirimkan ke dunia yang mengisahkan dirinya yang berbicara langsung dengan bintang-bintang di langit yang isinya berupa tantangan kehidupan.Â
Anak muda mencoba membaca buku non fiksi ilmiah yang mengakhiri film Fantastic Four. Selain itu, pemuda lugu yang senang menghitung jari jemarinya sendiri atau menghitung tiang listrik yang dilaluinya sambil berbicara sendirian padanya. Aku tidak sendiri, karena pemuda yang dimaksud adalah 'Aku' yang tidak menyenangi matematika, fisika, dan ilmu pengetahuan yang pasti lain.
Tetapi, tidak mengherankan, "Aku menghitung langkah kaki melalui jari jemari dan mata yang telanjang, bahwa ada jurang, lorong, jalan terjal, gua, laut, langit, warna lampu lalu-lintas saling bergantian, dan hitungan elevator." Terlebih lagi, "Aku semakin mengagumi kesenangan yang keluar dari kebenaran matematika." "Aku lebih baik menghitung berapa jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan, dibanding menghitung sesuatu berdasarkan matematika sebagai sesuatu yang pasti."
 Biarkanlah laju kecepatan Cogito Cartesian atau Aljabar yang akan menilai tingkat ketidaksenanganku pada matematika sebagai dedengkot ilmu pengetahuan yang pasti. Dari sini, cara terbaik kegilaan adalah terpikat pada matematika.
Seiring pemikiran modern memasuki mata yang terbakar oleh dunia virtual bersamaan anak muda ditunjukkan dengan nafsu yang tidak tertolong dan tenggelam dengan sifat melankolis yang dimunculkan bayangannya di siang hari.
Esensi pemuda terletak dalam bayangannya. Lalu, pikiran terhalang nafsu yang menggebu-gebu melintasi mimpi-mimpi yang menampilkan sosok pemuda lebih muda dari bayanganku sendiri.Â
"Aku melihat diriku lebih nyata ketika menghitung berapa jumlah tiang listrik atau jumlah kendaraan lalu lalang terasa usiaku bertambah lebih muda kembali di luar mimpiku." "Planet Mars ada di depan mataku." "Aku melihat matahari dalam mimpi persis di saat terjaga." "Aku tidak sedang menjerit, kusentuh wajahku, sehingga aku sendiri tidak akan mengenal dimana batas antara kegilaan dan pikiran itu sendiri." Lima tahun yang lalu, "Aku masih melihat secara utuh kegigihan yang terakhir melalui Cogito Cartesian."Â
Dari Homo Cybernicus menyatu dan menghilang dalam Homo Intellectus di zaman digital, dimana pemuda mengambil secara sembunyi-sembunyi, sekarang lebih muda dari sebelumnya.Â
"Aku berhasrat untuk melukis wajah Mars sejajar untuk menghitung jumlah jenis kinerja dalam perubahan yang fantastis dari telepon genggam." "Aku berbicara dan tertawa sendiri kembali tanpa di depan cermin, tanpa menghitung tiang listrik, kecuali di depan diriku sendiri, disaat tidak ada lagi obyek yang ditertawai atau dileluconkan." "Aku, juga bermimpi dengan mata terbuka." Masih ada orang-orang selain dari kebanyakan orang yang menertawaiku di saat momentumnya tidak lucu dan merenung seorang diri.
Mereka menertawaiku setelah habis kata-kata yang tidak pernah kuucapkan melalui pikiran, melainkan mengumpulkan dan membuat barang-barang bekas dan hal-hal yang alamiah lainnya hingga akhirnya menjadi pesawat, kendaraan roda dua dan empat, dan menjadi robot-robot yang didaur-ulang.Â
"Di depan mataku, Bumi dan Mars menghilang dalam mata yang sama." Kata-kata dan benda-benda muncul kembali di saat aku menghitung jumlah tiang listrik dan jumlah lampu sebelum aku tertidur pulas sambil menghitung berapa jumlah mata dalam raksasa mimpiku.