Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hasrat untuk Koalisi Sementara

25 September 2022   06:05 Diperbarui: 15 Februari 2024   14:28 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : detik.com, 23/05/2022

Karena ingar bingar dibicarakan orang, kita sudah tahu semua, bahwa KIB dan Gerindra-PKB muncul dari proses koalisisasi.Koalisi partai politik (parpol) yang dipandu oleh hasrat dan ide adalah hal yang lumrah. Jika tidak, ya biasa-biasa saja.

Sedikit sekali dibumbui dialog imajiner seperti ini. “Mengapa kalian bertiga merasa cukup?” Mengapa kalian berdua bertahan di tengah tarik menarik kepentingan?” PDIP berkata: “Dimana saja kalian berada akan mendapatkan aku.”

Demi kehidupan yang dinamis dan cair, KIB dan Gerindra-PKB masing-masing membuka kemungkinan koalisi bagi parpol lain.

Kehadiran koalisi parpol bukan untuk memiliki, tetapi hasrat untuk kuasa. Selain itu, tidak ambil pusing. Politik kurang dari cara hasrat untuk kuasa akan hambar. Bak sayur tanpa bumbu garam.

Sejak Sokrates (kita menoleh ke zaman baheula, sebelum masehi), parpol memilih bersama dengan yang lain untuk membentuk koalisi didorong bukan secara fisik atau tubuh murni, melainkan kepentingan terselubung dalam bentuk ide, mimpi, kesenangan, hasrat, dan selera. Koalisi parpol berpijak di atas landasan rasionalitas yang mengarah ke setiap kepentingan.

KIB ingin membangun semacam politik persatuan. Justeru rasionalitas itu beserta adu permainan kehidupan politik yang berlangsung didalamnya.

Bertahan atau tidak, pecah kongsi atau tidak dalam koalisi juga merupakan bagian dari rasionalitas, yang kadangkala membingungkan. Koalisi parpol tentu memiliki jangkauan nalar politik tersendiri.

Kata lain, tidak ada kewajiban dari koalisi parpol untuk mempertahankan keberadaannya tanpa akhir. Secara individu mungkin ingin merawat koalisi. Institusi parpol tertuju pada bagaimana merawat kehidupan politik secara individu, apalagi ketika ada usulan dan dukungan pada calon presiden di Pemilu 2024.

Seni mengatur koalisi dalam pemikiran politik sebenarnya sederhana. Bagaimana seni  mengatur parpol melalui representasi elite politik atau ketua bersifat rasional. Itulah makanya, ada parpol tidak ingin tergesa-gesa untuk mengambil keputusan tentang pembentukan koalisi. Betapa pun tarikan godaan politiknya, koalisi ada nalarnya.

Kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi seiring rasionalitas politik. Acapkali titik perkembangan koalisi tidak bisa dijangkau dengan hanya aritmetika politik.

Yang menggagas koalisi tidak memaksakan dirinya untuk menggunakan aritmetika politik dan untuk mengetahui sejauh mana parpol perlahan-lahan ditarik dalam koalisi.

Namun demikian, ada titik persamaan antara aritmetika politik dan pemikiran politik murni, yaitu sama-sama memiliki probabilitas sejauh pengetahuan tentang kekuatan tiap-tiap parpol.

Ada hal yang tidak bisa diprediksi perkembangan politik mutakhir. Sejauh ini, koalisi  membutuhkan pengetahuan tertentu, yaitu pengetahuan yang nyata, terukur, dan tepat bersama pertanyaan mengenai kapan dan siapa yang diajak berkoalisi.

Relasi antara Politik dan Hasrat

Hal penting berikutnya adalah mengapa politik praktis termasuk koalisi parpol agak sulit ditebak kesimpulannya akan mengarah pada sebuah pergerakan dan sejauh mana kekuatan yang ditampilkan oleh elite politik (kita menoleh ke zaman baheula, sebelum masehi).

Salah satu motif ketidakpastian atau ketidakkiraan pergerakan politik dari koalisi adalah kekuatan hasrat. Nalar politik seiring dengan logika hasrat.

Rahasia hasrat sebenarnya dari institusi parpol yang akan membentuk sebuah koalisi. Misalnya, KIB membuka pintu koalisi, sekalipun itu non parlemen. Koalisi Gerindra-PKB bersedia melakukan koalisi dengan PDIP secara bersyarat, sekalipun tetap di bawah keputusan Prabowo dan Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin Iskandar.

Semuanya bisa memungkinkan bergerak secara zig-zag. Kalkulasi politik bersama nalarnya tidak bergerak secara linear, melainkan bergerak secara spiral tanpa akhir, yang melibatkan logika hasrat.

Menyangkut peta koalisi yang lebih dekat dengan pengetahuan rasional tanpa maksud berlebih-lebihan, diantaranya dari hasil survei nasional terbaru dari LSI Denny JA, Agustus 2022.

LSI Denny JA menemukan dua garis yang tidak searah, yaitu poros KIB lebih unggul di segmen pemilih yang  moderat. Poros PDIP lebih unggul di segmen pemilih yang puas dengan kinerja Jokowi.

Lebih lanjut, LSI Denny JA mencatat bahwa KIB sendiri sangat mungkin menambah kekuatan tambahan partai lain. Hanya tiga partai saja bagi KIB dianggap sangat ‘rawan bubar’ koalisi.

Alasannya,  jika salah satu partai mengundurkan diri, hal itu akan membuat KIB tidak lagi memenuhi syarat pencalonan capres-cawapres 20 persen. Itu satu nalar politik, dekat dengan logika hasrat.

Parpol juga mengembangkan pengamatan dan kekuatan terhadap siapa saja yang bisa dipilih berkoalisi. LSI Denny JA menyatakan terhadap gejala itu dengan kehadiran KIB, dimana satu partai yang mungkin diajak adalah PKS atau Demokrat.  

Nah, baik PKS dan Demokrat apalagi Nasdem tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk meminta calon presiden. Meski Demokrat cukup terobsesi untuk membentuk koalisi besar, terutama ditujukan di luar koalisi yang lebih duluan terbentuk.

Koalisi Pelangi?

Mengenai koalisi pelangi dengan wacana atau ide tentang perpaduan natara nasionalis dan agamis sedang mengelinding dalam kehidupan politik. Begitulah definisi tentang koalisi pelangi, yang diartikulasikan oleh sejumlah politisi.

Kembali pada nalar politik atau teori politik tentang probabilitas. Sekarang, sudah sulit dibedakan perangkat kekuatan dan kuasa antara negara dan politik. Satu parpol atau lebih, yang terbentuk dalam koalisi sebagai pendukung rezim yang memenangkan Pilpres, maka akan memengaruhi kebijakan negara.

Mengapa koalisi pelangi ingin dibentuk terutama dari parpol berideologi agama, seperti PPP dan PKS berharap bisa bergabung dengan PKB, PAN, Golkar hingga Nasdem? Pemikiran tentang koalisi pelangi juga terbuka untuk diwacanakan secara gencar dan tetap memiliki nalar politik dalam kehidupan yang heterogen.

Dari hasil pengamatan yang dipetakan oleh LSI Denny JA memberitahukan pada kita tentang keenggenan PDIP untuk berkoalisi dengan PKS bukan hanya faktor ideologi, tetapi juga motif hasrat sebagai logika tersendiri, yang menyatu dengan nalar politik.

Indonesia memiliki kehidupan politik yang heterogen, karena negara harus dikelola secara terpadu dari seluruh pihak yang berkepentingan untuk memajukan bangsa dan meningkatkan hak-hak rakyat.

Ada nantinya kesan yang lahir dalam pertarungan politik, yang semestinya harus dihindari dengan apa yang disebut ‘marjinalisasi politik’, yang lebih cenderung pada keberadaan parpol yang tidak bareng dengan koalisi dan parpol non parlemen.

Atas dasar koalisi pelangi memungkinkan setiap parpol menyesuaikan perkembangan yang ada sejauh berkonstribusi bagi kemajuan negara dan bangsa. Oops! Koalisi “bubar jalan” dan bongkar pasang adalah hal yang lumrah sebagai bagian dari dinamika politik. Itulah salah satu menjadi koalisi sementara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun