Masih lanjut secuil kisah wong cilik. "Pas saya isi BBM tiga liter, terpaksa harus mengurangi jumlahnya jadi dua liter karena duit saya tidak cukup," kata seorang warga saat ditemui oleh awak media di salah satu SPBU.
Rupanya tidak sampai di situ gerutunya. Dia mengeluhkan stok BBM jenis Pertalite non subsidi terbukti sudah ludes. "Yang ada hanya Pertamax. Udah harganya makin mahal, mau nggak mau harus dibeli." Apakah warga itu tidak termasuk keluarga penerima manfaat (KPM) BLT BBM? Gumanku dalam hati.
Baik para sopir angkot dan warga pembeli BBM merupakan sederet kisah piluh atau sekurangnya kisah memperihatinkan dari sekian kisah lain yang belum terungkap. Boleh jadi mereka belum terdaftar dan teridentifikasi sebagai warga dengan kriteria tidak mampu dari 20,65 juta KPM, sehingga mereka terkendala dalam  penerimaan alokasi dana program BLT BBM sebesar 12,4 trilyun rupiah. Ini jumlah dana yang tidak sedikit digelontorkan oleh pemerintah.
Mereka mungkin menunggu verifikasi data baru supaya tercatat sebagai KPM. Tinggal mereka menunggu kesempatan lain.
Teringat ungkapan seorang teman. Jika mudah urusannya mengapa dipersulit, jika sulit mengapa dipermudah.
Ungkapan tersebut agak klise dalam kaitannya dengan hak-hak warga yang tidak mampu.
Orang mampu dan tidak mampu mustahil juga gegabah atau terjatuh dalam sesat pikir untuk mengutuk masa kini dan menyanjung masa lalu hanya gegara harga BBM melonjak.
Sebaliknya, betapa gembiranya mereka yang miskin atau tidak mampu. Tidak tertahankan, air mata berlinang bercampur senyum riang saat menerima manfaat BLT BBM. Air mata sukacita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H