Mahasiswa, buruh, sopir angkot, ojek online, nelayan hingga orang miskin sebagai taraf tanda atau simbol sosial-ekonomi. Elite politik atau politisi sebagai simbol politik.Â
Sebelum catatan ini berlanjut, ada semacam cuilan selingan jokes tentang harga BBM naik masih atau telah berselancar di video yang diunggah lewat media sosial Instagram.
Terdengar kabar dari negeri 'antah-berantah' kalau jokes aki-aki bakal menyaingi lawakan ala Stand Up Comedy. Berikut sepenggal jokes.
"Alhamdulillah BBM naik 10 ribu kecil bagi wong Cirebon sih," ucap bapak berjenggot.
"Mantap," sahut dua bapak di belakangnya.
"Kalau bisa ya pak, kalau bisa naik 25 ribu tenang, wong Cirebon bakal kelaparan."
Lelucon tidak jarang membonceng sarkasme. Sebuah sindiran halus yang lucu dialamatkan pada kenaikan harga BBM.
Akhirnya, orang akan menunda bertepuk tangan tatkala seseorang menerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM), kecuali orasi yang memukau dari pendemo. Oh nestapa! Oh balada! Penerima manfaat BLT BBM sebagai bantuan sosial (bansos) tidak peduli apa kata di luar sana.
Di hadapan orang yang menolak kebijakan tersebut, yang membuat rakyat makin terpuruk itulah tertanggulangi dengan kehadiran BLT BBM. Bantuan tersebut bikin orang miskin kembali tersenyum di tengah penderitaan.
Mereka tidak terampil bahkan tidak bisa menyusun untaian pidato mengenai kenaikan harga BBM. Mereka tidak keliru jika dikatakan terpaksa menerima kondisi yang kurang menyenangkan.
Keluarga penerima BLT BBM juga tidak memilih bungkam, diam seribu bahasa. Negaralah yang menetapkan mereka sebagai pemanfaat sebesar 300 rupiah dalam dua tahapan, sehingga totalnya 600 ribu rupiah selama empat bulan.