Mereka tidak pernah memilih hidup dalam kondisi serba ketidakkecukupan. Dalam taraf hidup yang rendah, mereka secara tidak langsung memperlihatkan gambaran permasalahan kemiskinan yang belum tertuntaskan.
Orang juga tahu, bahwa pengambil kebijakan tidak hanya mengundang kontroversi atas kenaikan harga BBM, tetapi juga pemerintah mengalihkan subsidi ke BLT BBM. Dari kebijakan tersebut, tidak ada sensor tentang berapa jumlah pengalihan subsidi yang layak diterima manfaatnya oleh rumah tangga miskin. Paling tidak, berkurang beban hidup, tanpa keluar uang mereka untuk membeli beberapa liter beras.
Mengulang lagi ungkapan sebelumnya. Apa yang menggembirakan itu nyata dan apa yang nyata itu pilu bersama air mata.
Ada dan nyata dari rasa gembira bercampur dengan air mata berlinang tidak serta merta bisa "diskakmat" oleh hal-hal yang manusiawi.
Khusus peristiwa ini, dimana ada harga BBM naik, di situ ada BLT. Yang kurang tepat digembar-gemborkan adalah pernyataan mengenai si anu yang untung, si wong cilik yang buntung.
Sudah bukan rahasia umum, jika harga BBM naik yang non subsidi bakal perusahaan akan mengurangi biaya produksi.
Setelah itu, pada gilirannya, karyawan pabrik terancam akan diPHK. Karyawan punya isteri dan anak, yang perlu ditanggungi nafkahnya sehari-hari.
Demikian halnya dengan pemerintah. Berapa besar defisit anggaran negara? Berapa persen tingkat inflasi? Yang jika diperpanjang pertanyaan kita, ujung-ujungnya akan mengarah pada pertanyaan mengenai berapa besar peningkatan kemiskinan dan pengangguran.
Semuanya itu juga secara berlipat ganda membebani negara, terutama dalam upaya untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi di negeri kita.
Pada suatu hari sopir angkutan kota (angkot) dari salah satu trayek tertentu belum diadukan pada pihak berwewenang siapa yang membuat pendapatannya anjlok.
Sopir angkot itu mengakui jika ada dampak dari kenaikan harga BBM. "Dampaknya tentu luar biasa sekali bagi para sopir angkot seperti kami ini," ujarnya di suatu terminal. "Penurunan uang saya alami sekitar 25 persen dari biasanya, ini sangat memberatkan kami," tuturnya. Satu ungkapan senada juga dialami oleh sopir angkot yang lain. "Penumpang menurun, pendapatan juga menurun. Sedangkan pengeluaran untuk BBM meningkat," pungkasnya.