"Iya iya, ini masih di Bus, sabar doang. Kamu kira aku gak kehujanan. Mana Busnya pengap sekali," ucap Ririn. Tatapannya masih fokus pada kesibukan jalanan. Meski dia takut hujan, tetap saya hujan dengan latar jalanan selalu mempesona di matanya.
"Mohon maap, Ibuk, jangan curhat sekarang. Mending kamu suruh supirnya ngebut deh. Malesin banget ke kampus pas lagi hujan begini. Kurang rajin apa coba aku jadi mahasiswi." Teman Ririn yang bernama Lisa ini tingkat kesabarannya memang begitu, dia sering tidak sabaran.Â
"Gila ya? Disuruh ngebut, kamu pengen aku langsung jurusan akhirat ya? Ada-ada saja. Udah tunggu aja di gerbang kampus." Telfon itu masih terus tersambung, saling sanggah-menyanggah antara orang yang ribut soal kehujanan, bilang dengan berat hati ke kampus saat hujan. Padahal jika seseorang sudah menyukai sesuatu, jangankan hujan, apapun itu akan dia lakukan demi sesuatu yang dia senangi itu. Bahasa kasarnya sih berkorban.Â
Sambil lalu Bus sudah dua kali berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, salah satunya adalah ibu-ibu yang kerepotan dengan membawa anaknya yang masih kecil dan tas serta kardus. Barang bawaannya terlalu banyak jika sendirian. Kernet Bus sibuk membantu. Yang tidak enak saat naik Bus itu, baru juga naik belum duduk Bus nya sudah berangkat. Jika tidak bisa menjaga keseimbangan, pasti sudah oleng kanan kiri.Â
Salah satu penumpang Bus sibuk berbincang dengan rekannya. Tertawa-tawa.Â
"Hanya ini cuaca sedang tidak baik. Dua hari terakhir malah dingin, sudah sedingin es. Yang begini nih, yang bikin tubuh rentan sakit. Lihat, saya saja sudah flu." Rekannya mengangguk mengiyakan.Â
"Tapi adanya hujan ini juga disebut hikmah. Rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Repot sih jadi manusia, diberi hujan ngeluh minta panas. Saat dikasih panas malah ngeluh lagi, gerah lah, inilah, itulah, minta hujan biar dingin. Bukannya mensyukuri yang Tuhan berikan. Syukur-syukur sudah diberi cuaca yang tidak ekstrim. Repot ntar kalau diberi badai," ucap Bapak yang satunya.
"Oy, pandai sekali kau beromong bijak. Kurang berkaca diri. Diri sendiri juga sibuk mengeluh. Sudah urus diri sendiri, jangan malah sibuk mengurus orang lain," ujar rekannya itu.Â
Obrolan keduanya masih terus berlanjut, sembari menghilangkan rasa bosan di Bus karena kota tujuan masih jauh.Â
Bus lagi-lagi berhenti, kenaikan penumpang. Seorang pemuda dari usianya masih terbilang muda. Berbaju Koko dan sarung rapi dengan warna senada. Membawa tas punggung, pasti berisi pakaian dan kardus yang dijinjingnya. Khas orang yang bepergian jauh.Â
Pemuda itu duduk di samping gadis itu. Tak lama kernet Bus menghampiri. Menanyakan kota tujuan. Pemuda itu menyebutkannya. Kernet Bus menyebutkan tarif, transaksi mulai berlangsung, uang lima puluh ribu segera berpindah tangan.Â