Mohon tunggu...
Erka Ray
Erka Ray Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Mempunyai nama pena Erka Ray, kelahiran Januari 2003, di Kabupaten Sumenep Madura Jatim. Mempunyai cita-cita sebagai penulis semenjak kelas 4 SD. Mulai nekad mempublikasikan karyanya sejak 2019 lalu. Orangnya sering gabut. Kalau udah gabut, nulis. Kalau lagi sok sibuk, lupa nulis. Hasil gabutnya sudah ada 4 buku solo dan 7 buku antologi puisi yang gak pernah dia beli. Dan rencana gabutnya masih banyak lagi. Makanya beli bukunya Erka biar tau. 🥱😴

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Kali

28 Juli 2022   10:29 Diperbarui: 28 Juli 2022   13:05 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "huhhfff ...." Bukan suara apa, itu suara hembusan napasku. Lagi-lagi motor yang kukendarai ini bannya kempes. Sudah sekitar tiga kali, setiap aku melewati jalanan ini ban ku kempes, tertusuk paku. Siapa sih yang iseng begini nyebarin paku di jalanan. 

Namaku Wahid seorang pekerja kantoran di salah satu gedung pencakar langit di daerah ibu kota. Jangan tanya yang mana, intinya yang tinggi itu.

Waktu itu aku pernah terburu-buru harus ke kantor sudah hampir jam tujuh dan tentunya harus on time kan ke kantor, pas lewat di jalan ini ban langsung oleng, langsung kempes seketika. Ya sudah jika harus telat kali ini, aku sudah pasrah, toh sudah jam tujuh lewat. Kudorong motorku sekitar lima menit akhirnya menemukan tukang tambal ban. 

"Kempes di mana motornya, Nak?" Bapak itu bertanya sambil cekatan melepas ban. 

"Itu Pak di lampu merah sebelum jalan Niaga. Padahal saya lagi buru-buru sudah ngebut dari rumah, malah kena musibah begini." 

Bapak tua itu masih fokus dengan kerjaannya. Sambil menunggu aku menelpon teman kantor, bilang kalau aku akan terlambat soal berkas nanti aku bawakan langsung ke lantai empat. 

"Bapak ini sudah lama kerja jadi tukang tambal ban, Pak?" 

"Sekitar lima tahun, Nak. Bekerja serabutan. Orang tua macam saya ini kadang harus dipertimbangkan lagi jika untuk diterima kerja meksipun cuma di toko-toko kelontong." 

Bapaknya ini terlalu merendah sih. Tapi memang, kalau sudah modelan tua begini jika ingin bekerja di toko, mau jadi apa? Mengangkut beras saja sudah agak kesusahan. Tapi pekerjaan bapak ini sudah lebih dari cukup untuk menyambung hidup. Banyak orang tua sekarang yang malah jadi peminta-minta entah memang kemauan sendiri untuk menjadi seperti itu atau ada alasan lain. Tapi lebih jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah. 

"Sudah, Nak." Lamunanku terputus. Baru juga 15 menit bapak nya ternyata memberikan pelayanan yang super cepat. 

"Berapa, Pak," tanyaku.

"Seikhlasnya saja, Nak," jawabnya. 

"Lah tidak bisa begitu, Pak. Saya kan jadi bingung harus bayar berapa ke bapak." 

Setelah sedikit percekcokan antara kami soal bayaran tambal ban, bapaknya tetap kekeh minta seikhlasnya. Katanya, jika kita ikhlas atas apapun yang kita kerjakan, tentu akan mendapatkan balasan yang tidak ternilai. Jika balasannya tidak datang sekarang dan bukan berbentuk uang, bisa jadi di lain waktu dan dalam bentuk yang tak terduga. 

Akhirnya aku memutuskan memberinya tiga puluh ribu. Entah terlalu sedikit atau kebanyakan. Bapaknya tersenyum ramah saat aku berpamitan pergi. 

Tunggu, aku terlalu panjang bercerita rupanya soal masalah ban kempes tempo lalu. Nasib memang hari ini kempes lagi. Kubawa lagi ke tempat bapak itu.

"Kempes lagi, Pak." Bapaknya tersenyum saat aku datang. Langsung cetakan mengambil peralatan. 

"Tumben berangkat siang, Nak," tanya bapaknya. 

"Iya, Pak. Sedang tidak ada pekerjaan di pagi hari. Lagi pula kemarin saya lembur pak. Jadi paginya dapat kompensasi dari bos, boleh berangkat siang," ucapku nyengir. 

Cuma 15 menit bapaknya sudah selesai. Secepat itu memang. 

Malam harinya, benar-benar dingin. Siur angin yang pelan, menyelusup disela-sela kemeja kerja. Siluet malam memang tidak pernah gagal menjamu mata. Ditambah dengan bintang yang seakan-akan digantung di atas sana, semakin menambah keindahannya. Ini bukan lebay atau apa, coba tanya saja sama penyuka malam, pasti mereka setuju jika malam ini dikatakan indah. Apalagi kota ini, jika dipotret, maka akan menjadi bingkai yang indah. 

Sudut Mataku malah menangkap sosok bapak tua itu, di jalan yang selalu membuat banku kempes. Bapaknya membawa sapu seperti sedang memberikan sesuatu. Aku memelankan laju motor. Tidak mungkin kan ada yang yang suka rela menyapu jalanan di jam segini. Ini sudah jam sembilan malam. Aku mengamati bapak itu. Selang lima menit bapak itu selesai menyapu jalanan. Wah baik juga bapak itu nyapu jalanan tempat ban motorku sering kempes. 

"Kempes lagi, Nak," ucap bapak itu saat motorku masuk ke halaman tambal bannya keesokan harinya.

"Nggak, Pak. Lagi mau mampir saja. Saya baru pulang kerja juga." Kulihat bapak itu masih fokus membersihkan sisa-sisa peralatan, tampaknya ada yang tambal ban ke sini. 

"Saya bawain bapak Nasi, kebetulan saya baru gajian, Pak." 

"Mari Pak makan." 

Hari yang melelahkan. Bapak itu menerima nasi dengan lauk ayam panggang yang kubawa. Kami memang cukup akrab sekarang, karena aku sudah tiga kali menambal ban di sini, gara-gara paku sialan itu.

Ayam panggang ini benar-benar pas di lidah. Benar memang, kadang makanan apapun bisa jadi lezat jika kita mensyukuri setiap suapannya dan sebaliknya. Ya … meskipun nasi dengan lauk ayam ini emang enak aslinya. 

"Waktu saya pulang malam-malam dari kantor, saya lihat bapak lagi nyapu jalanan itu, jalanan yang sering bikin ban motor saya kempes." Satu suapan lagi masuk ke mulutku. Untuk memecahkan keheningan aku iseng saja sembarangan mencomot topik pembahasan. 

"Banyak orang yang mengeluh soal jalan itu, Nak. Akhir-akhir ini banyak yang tambal ban, karena bannya bocor di sana. Saya kasihan liat orang-orang yang lagi terburu, punya urusan penting malah harus tertunda karena nambal ban," tuturnya. 

"Tapi kan, Pak. Bukannya kalau banyak yang nambal ban di sini malah bikin penghasil bapak meningkat," aku masih berusaha menyanggah, sebenarnya ini hanya pancingan saja. 

"Tidak, Nak. Jangan pernah sekali-kali kita mengambil keuntungan di tengah musibah yang dihadapi orang lain. Justru sebisa mungkin kita harus bisa membantunya. Saya tidak peduli jika tambal ban saya sepi lagi. Yang penting pengguna jalan kembali nyaman. Urusan rezeki sudah ada yang ngatur. Selagi kita masih bernapas, kita masih punya rezeki nak. Bernapas kan juga rezeki dari Tuhan."

Lihatlah masih banyak sisi orang yang peduli di dunia ini. Masih ada orang yang justru meskipun hidupnya tidak memadai, serba kekurangan, dia justru menolak untuk mengambil kesempatan di atas musibah yang sedang dihadapi orang lain. 

Permata memang kadang tersembunyi begitu dalam, bahkan mutiara saja ada di dalam laut. 

Tolong menolong sebenarnya bukan sekedar kewajiban, tapi juga harus ditanamkan di dalam hati. Jika sudah ada di sana, maka kita akan tergerak sendiri untuk menolong orang.

Sepertinya aku memang harus banyak belajar. Tapi alangkah lebih baik lagi kalau aku fokus makan dulu. Ayam panggang ini benar-benar lezat. 

The End! 

Diselesaikan, 31 Mei 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun