"Kempes lagi, Nak," ucap bapak itu saat motorku masuk ke halaman tambal bannya keesokan harinya.
"Nggak, Pak. Lagi mau mampir saja. Saya baru pulang kerja juga." Kulihat bapak itu masih fokus membersihkan sisa-sisa peralatan, tampaknya ada yang tambal ban ke sini.Â
"Saya bawain bapak Nasi, kebetulan saya baru gajian, Pak."Â
"Mari Pak makan."Â
Hari yang melelahkan. Bapak itu menerima nasi dengan lauk ayam panggang yang kubawa. Kami memang cukup akrab sekarang, karena aku sudah tiga kali menambal ban di sini, gara-gara paku sialan itu.
Ayam panggang ini benar-benar pas di lidah. Benar memang, kadang makanan apapun bisa jadi lezat jika kita mensyukuri setiap suapannya dan sebaliknya. Ya … meskipun nasi dengan lauk ayam ini emang enak aslinya.Â
"Waktu saya pulang malam-malam dari kantor, saya lihat bapak lagi nyapu jalanan itu, jalanan yang sering bikin ban motor saya kempes." Satu suapan lagi masuk ke mulutku. Untuk memecahkan keheningan aku iseng saja sembarangan mencomot topik pembahasan.Â
"Banyak orang yang mengeluh soal jalan itu, Nak. Akhir-akhir ini banyak yang tambal ban, karena bannya bocor di sana. Saya kasihan liat orang-orang yang lagi terburu, punya urusan penting malah harus tertunda karena nambal ban," tuturnya.Â
"Tapi kan, Pak. Bukannya kalau banyak yang nambal ban di sini malah bikin penghasil bapak meningkat," aku masih berusaha menyanggah, sebenarnya ini hanya pancingan saja.Â
"Tidak, Nak. Jangan pernah sekali-kali kita mengambil keuntungan di tengah musibah yang dihadapi orang lain. Justru sebisa mungkin kita harus bisa membantunya. Saya tidak peduli jika tambal ban saya sepi lagi. Yang penting pengguna jalan kembali nyaman. Urusan rezeki sudah ada yang ngatur. Selagi kita masih bernapas, kita masih punya rezeki nak. Bernapas kan juga rezeki dari Tuhan."
Lihatlah masih banyak sisi orang yang peduli di dunia ini. Masih ada orang yang justru meskipun hidupnya tidak memadai, serba kekurangan, dia justru menolak untuk mengambil kesempatan di atas musibah yang sedang dihadapi orang lain.Â