“Aku seorang perempuan.
Pengagung cinta.
Maafkan aku.
Karena mencintaimu,
Perempuanku.”
Mataku tinggal berupa
garis lurus tertutup
kelopak yang
menggelembung.
Kelopak itu telah letih
melelehkan air.
Butirannya telah
berubah warna.
Pandanganku
mengabur. Jiwaku
melayang gelisah. Aku
enggan beranjak dari
tempat tidur. Kubiarkan
kertas itu tergeletak di
dada. Embun pagi masih
tersisa ketika dia pergi,
membiarkanku
tenggelam dalam
keresahanku sendiri.
Berlusin purnama tidak
lagi mampu menahan
gejolak rasa yang
terpendam.
Memuntahkan hasrat
yang mendesak ingin
keluar. Menghancurkan
benteng keangkuhan.
Memusnahkan remah-
remah
ketidakpercayaan akan
rasa yang tercecap.
Aku dan kau. Aku
menginginkannya. kau
menginginkanku. Kami
memulainya. Kami
menuntaskannya.
Kutatap cincin yang
diselipkannya di jari
manisku dulu.
Haruskah aku?
Haruskah dia? Di mana
kami berdiri? Tiada
jawaban. Hilang.
Terbang terbawa angin
musim kering yang
menyelinap liar.
Ah, kau datang lagi.
Ketakutan itu.
Kembali mengusik
hidupku, merusak
kebahagiaan yang
kulewati bersamanya.
Mendesakku ke
tembok, membuatku
sulit bernapas dan
memaksaku untuk
berkata, “Ya! Aku akan
mengakhirinya!”
Kulepaskan cincin itu.
Aku menemuinya.
Aku mengembalikannya.
Mata itu menatapku.
Terluka. Merengkuhku
dalam pelukan.
Mengalirkan
kehangatan.
Menumpahkan seluruh
sesak di dada. Hening.
Hanya isak tangis.
Terdengar embusan
napas. Berat. kau
melepaskan pelukan,
mengangkat daguku,
menatap lembut ke
hitam bola mataku,
“Ketakutan dalam
dirimu membuatmu
menderita, sayangku.
Izinkan aku
menggenggam
jemarimu, bersama kita
menghadapinya.”
Tangan itu kembali
merengkuhku.
Menyisipkan serpihan
cinta di setiap aliran
darahku.
Aku merindukanmu ada seperti dulu......sebelum jarak memisahkan kita....
Kediri,August 7 ' 2011
7:46 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H