I. PENDAHULUAN
Stanting merupakan salah satu permasalahan gizi secara global yang dialami oleh balita di dunia saat ini, terutama di negara berkembang. Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan prioritas karena masalah gizi dapat berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (Yuwanti, et. Al., 2021).Â
Stunting dapat menimbulkan dampak jangka panjang seperti terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, dan kognitif. Selain itu, stunting juga mempengaruhi keterampilan motorik dan perkembangan bahasa, serta meningkatkan kejadian penyakit degeneratif, penyakit, dan kematian.Â
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting mempengaruhi perkembangan kognitif dan keberhasilan belajar anak, yang dapat menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan di berbagai negara.
Permasalahan stunting dan kelebihan berat badan serta penyakit tidak menular (PTM) dimulai pada masa tumbuh kembang janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Bila ibu dan janin kekurangan gizi, maka proses tumbuh kembangnya terganggu sehingga mengakibatkan kelainan pertumbuhan tinggi, yang mana pada faktor genetik di dalam sel memungkinkan pertumbuhan normal.Â
Stunting terjadi akibat kekurangan gizi kronis pada 1.000 hari pertama kehidupan. Kerusakan yang ditimbulkan berarti perkembangan anak bersifat irreversible (tidak dapat diubah) dan anak tidak mampu belajar dan memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya (Torihono, et.al., 2015).
Salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) adalah untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang kedua. Hal ini berarti mengakhiri kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, serta mendukung pertanian berkelanjutan (Nirmalasari, 2020). Sasarannya adalah menurunkan angka stunting sebesar 40% pada tahun 2025 (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut Kominfo (2022), Indonesia akan mengalami dividen demografi pada tahun 2030, dimana kelompok usia kerja merupakan mayoritas penduduk dan menjadi penyangga perekonomian.Â
Namun, jika pertumbuhan sumber daya manusia terhambat maka potensi tersebut akan menjadi sia-sia. Permasalahan stunting merupakan salah satu target dari Sustainable Development Goals (SDGs) untuk mengakhiri kelaparan dan segala bentuk malnutrisi. Malnutrisi internal atau biasa disebut malnutrisi yang dialami anak kecil pada masa pertumbuhannya berdampak pada status kesehatan dan harapan hidup mereka, termasuk isu stunting (Liansyah, 2015).
Pada tahun 2018, Kementerian Kesehatan RI melaporkan bahwa sekitar 22,2% atau 150,2 juta balita di dunia mengalami stunting. Stunting ini ditandai dengan nilai Z-score (TB/U) tinggi badan berbanding usia kurang dari -2SD. Kategori pendek kurang dari -2SD dan kategori sangat pendek kurang dari -3SD (Kemenkes, 2016). Pada tahun 2019, satu dari tiga anak di bawah usia lima tahun, atau sekitar 149 juta anak di seluruh dunia, menderita stunting (UNICEF, 2020).Â
Lebih dari separuh (55%) bayi dengan stunting di dunia berasal dari Asia, dan lebih dari sepertiganya tinggal di Afrika (39%) (Kementerian Kesehatan, 2018). Berdasarkan data Riskesdas, kejadian stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 3,2% menjadi 30,8% pada tahun 2013 hingga 2018 (Kementerian Kesehatan RI, 2018), pada tahun 2020 mengalami peningkatan akibat dampak pandemi Covid-19 yang meningkat (Utami, 2020). Jumlah tersebut diperkirakan meningkat sebesar 15% akibat menurunnya daya beli masyarakat akibat pandemi COVID-19 (UNICEF, 2020).
Protein merupakan zat makanan yang paling kompleks. Protein terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan fosfor. Karena protein merupakan zat pangan yang mengandung unsur nitrogen, maka protein kadang disebut sebagai zat pangan yang mengandung nitrogen (Vidiasari, 2022).Â
Protein hewani umumnya memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan protein nabati (Sholikhah & Dewi, 2022). Protein ditemukan dalam makanan nabati dan hewani, tetapi protein hewani sangat bernilai untuk tubuh manusia sebagai pertumbuhanan dan perkembangan karena komposisinya sama dengan protein manusia. Pada umumnya protein nabati lebih murah. Protein ini lebih bermanfaat sebagai bahan bakar tubuh, tetapi menyediakan asam amino lebih murah yang dibutuhkan tubuh membangun jaringan (Vidiasari, 2022).
Dalam pola makan anak sebaiknya lebih memperhatikan komponen gizi terutama protein yang menunjang proses pertumbuhan tinggi badan serta memberikan nutrisi bagi pertumbuhan otak dan kecerdasan. Kekurangan mempengaruhi pertumbuhan anak dan menghalangi mereka mencapai potensinya. Dengan kata lain, menderita keterbelakangan pertumbuhan karena kekurangan protein yang dicerna (Septinova et al., 2023).Â
Komponen pangan hewani seperti telur, susu, daging, unggas, dan makanan laut merupakan sumber protein yang baik dari segi kuantitas dan kualitas (Bunga Ihda Norra et al., 2021). Sumber makanan protein nabati meliputi 4 jamur, biji-bijian, kacang-kacangan (misalnya kedelai, kacang tanah) dan produk olahannya (misalnya tempe, tahu, oncom, dan lainnya) (Hamidah et al., 2017).
Saat ini angka kecukupan konsumsi protein di Indonesia terbilang masih sangat kurang yaitu <80%, sekitar 36,1% penduduk dengan AKP sangat kurang (Kementerian PPN/Bappenas, 2019). Beberapa hasil penelitian juga menunjukan keterkaitan antara kurangnya konsumsi protein khususnya hewani dengan permasalahan gizi (stunting) salah satunya adalah penelitian yang dilakukan (Oktaviani et al., 2018) dan (Siringoringo, 2020) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah asupan protein hewani dengan perawakan pendek (stunting) pada anak.Â
Protein merupakan zat makro yang berfungsi sebagai reseptor yang dapat mempengaruhi fungsi DNA sehingga merangsang atau mengendalikan proses pertumbuhan. Semakin tinggi dan baik kualitas protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi juga kadar insulin (IGF-1) yang bertugas sebagai mediator pertumbuhan dan pembentukan matriks tulang.
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah studi literature review, berupa pencarian artikel nasional dan internasional yang menampilkan dalam bentuk fulltext PDF yang relevan dengan topik pembahasan menggunakan bantuan google chrome dengan mengakses database e-resourch dengan hasil akhir yang disesuaikan berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan peneliti.Â
III. HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Berdasarkan data dari artikel yang diperoleh, asupan protein hewani berperan positif dalam menurunkan prevalensi stunting. Sumber protein hewani yang dikonsumsi berbeda-beda di setiap wilayah. Dari keseluruhan referensi yang diperoleh sebagian besar menyatakan bahwa konsumsi protein hewani saat ini tersedia sebagai alternatif pengobatan dan pencegahan masalah stunting. Sebuah studi penelitian yang dilakukan di 49 negara dengan menggunakan metode analisis survei menunjukkan bahwa konsumsi ASF dapat menurunkan stunting sebesar 2,3%. Prevalensi stunting secara keseluruhan mencapai 31,5%, turun sekitar 7,2% ASF yang dikonsumsi bervariasi menurut wilayah, tetapi serupa seperti susu, telur, daging, dan ikan (Headey et al., 2018).
Penelitian (Sugeng et., al, 2023) menyatakan bahwa setelah pemberian makanan/suplemen tinggi protein hewani, kalsium dan zinc berupa nugget selama 6 minggu sebanyak 50 g setiap hari dengan kandungan zat gizi meliputi; Energi=90,45 kkal (6,7%AKG), Lemak total=4,27g (=9,0%AKG), Protein=7,57g (=37,5%AKG), Karbohidrat total =5,44 g(=2,5%AKG), Kalsium=27,56mg (=4,2%AKG) dan Zinc=0,44 mg (=14,6%AKG). Hasil menunjukkan ada perbedaan bermakna rata-rata tinggi badan anak sebesar 0,41±0,26 cm (p=0.000).
Berdasarkan riset (Kaimila et al., 2019), (Das et al., 2020), (Herber et al., 2020), dan (Mank et al., 2020) menunjukkan bahwa asupan protein dari sumber hewani dapat meningkatkan pertumbuhan tergantung pada usia (HAZ, LAZ, WHZ). Intervensi yang diterapkan untuk mendorong anak mengonsumsi ASF dalam jumlah lebih tinggi dapat mengurangi stunting, karena peningkatan asupan 1 gram protein hewani saja dapat meningkatkan tinggi badan sekitar 0.02 dalam hitungan bulan. Meningkatnya tinggi badan secara langsung dapat menurunkan prevalensi stunting (Kaimila et al., 2019). Selain itu penelitian (Thomas et al., 2020) juga menunjukkan adanya perbedaan signifikan tinggi badan anak sebelum dan sesudah intervensi pemberian protein hewani. Durasi intervensi yang dilaporkan dalam penelitian bervariasi dari 21 hari hingga 3 hingga 6 bulan. Dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber protein hewani (Martony et al., 2020), anak stunting diberi makan ikan lemuru selama 21 hari dan dilakukan pengukuran tinggi badan secara rutin setiap bulannya. Tingkat ketercapaian asupan protein hewani sebelum dan tanpa persetujuan mencapai 20,99% hingga 26,25%, dan setelah persetujuan mencapai 27,54% hingga 28,83%. Jenis protein yang diberikan pada penelitian ini sama dengan penelitian (Rr Dewi Ngaisyah, 2019) yaitu ikan.
Asupan protein hewani seringkali dikaitkan dengan tumbuh kembang anak, karena protein mengandung asam amino yang dapat menunjang proses tumbuh kembang anak. Protein juga merupakan zat besar yang mempengaruhi fungsi DNA dan bertindak sebagai reseptor yang merangsang atau mengendalikan proses pertumbuhan. Semakin tinggi dan baik kualitas protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi pula kadar insulin (IGF-1) yang berperan sebagai mediator pertumbuhan dan pembentukan matriks tulang (Siringoringo, 2020). Setiap item mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
Kelebihan artikel yang dibahas di atas antara lain penggunaan metode penelitian yang berbeda, sehingga memungkinkan kita untuk lebih tepat merumuskan tujuan penelitian ini dan memperluas cakupannya. Metode yang digunakan meliputi, eksperimen, quasi, studi kohort, pilot studi, dan analisis survey. Selain itu, metode untuk mengukur asupan protein hewani beragam, termasuk LGCM, PDCAAS, dan standar, karena yang terpenting adalah sumber protein hewani, maka efektivitas dapat diukur baik dalam bentuk tingkat keberhasilan maupun kemudahan memperoleh komponen sesuai clusternya.
Kelemahan yang diidentifikasi oleh penulis artikel yang ditinjau mencakup beberapa artikel yang tidak menjelaskan hasil mengenai tingkat keberhasilan. Meskipun pengetahuan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan stunting, namun beberapa artikel tidak memberikan data demografi mengenai pengetahuan. Selain itu, terdapat artikel yang menggunakan kuesioner Ironcheq, tetapi fungsi kuesioner tersebut adalah untuk mendeteksi defisiensi zat besi pada anak kecil, bukan stunting.
Tinjauan literatur dan teori menunjukkan bahwa konsumsi protein hewani bermanfaat untuk proses tumbuh kembang anak. Anak yang lebih banyak mengonsumsi protein hewani cenderung memiliki peluang tumbuh kembang yang lebih baik dibandingkan anak yang tidak mengonsumsi makanan sumber protein hewani.
IV. KESIMPULANÂ
Makanan sumber protein hewani yang dikonsumsi anak-anak di masing-masing wilayah bergantung pada bahan yang tersedia di masing-masing wilayah. Protein hewani yang dikonsumsi antara lain susu, ikan, belut, telur, dan ayam. Semua jenis protein hewani kaya akan asam amino. Manfaat yang dihasilkan terletak pada peningkatan pertumbuhan dan pencegahan stunting yang dapat dicapai dengan mengubah pola konsumsi anak sesuai dengan jumlah dan frekuensi kebutuhan anak. Beberapa jurnal dan artikel yang telah direview menunjukkan bahwa pemberian makanan sumber protein hewani kepada anak mempunyai dampak yang bermanfaat dan penting dalam memperbaiki stunting pada anak, mencegah dan mengurangi kejadian stunting.Â
V. DAFTAR PUSTAKA
Bunga Ihda Norra, Putri Hendrika, T., Auliyaur Rohmah, A., & Ila nabinya. (2021). Identifikasi Pemahaman Umum Ayam (Gallus Gallus) Dan Ikan Mujair (Oreochromis Mossambicus) PADA MAHASISWA UIN WALISONGOSEMARANG. Bio-Lectura, 8(1), 29–36. https://doi.org/10.31849/bl.v8i1.5763
Headey, D., Hirvonen, K., & Hoddinott, J. (2018). Animal-sourced foods and child stunting. American Journal of Agricultural Economics, 100(5), 1302–1319. https://doi.org/10.1093/ajae/aay053
Herber, C., Bogler, L., Subramanian, S. V, & Vollmer, S. (2020). Association between milk consumption and child growth for children aged 6 – 59 months. Scientific Reports, 2–11. https://doi.org/10.1038/s41598-02063647-8
Kaimila, Y., Divala, O., Agapova, S. E., Stephenson, K. B., Thakwalakwa, C., Trehan, I., Manary, M. J., & Maleta, K. M. (2019). Consumption of Animal Source Protein is Associated with Improved Height-for-Age Z Scores in Rural. 1–22. https://doi.org/10.3390/nu11020480
Kemenkes RI. Penurunan Prevalensi Stunting tahun 2021 sebagai Modal Menuju Generasi Emas Indonesia 2045. Kemkes.go.id. 2021;
Kemenkes RI. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2018;1–100.
Kemenkes RI. Cegah Stunting, itu Penting. Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI Available from:
https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/Buletin-Stunting 2018.pdf
Kominfo. (2022). Kominfo Ajak Masyarakat Turunkan Prevalensi Stunting. https://www.kominfo.go.id/content/detail/17436/kominfo-ajak-masyarakat-turunkan-prevalensi-stunting/0/sorotan_media
Martony, O., Lestrina, D., & Amri, Z. (2020). Pemberdayaan Ibu untuk Perbaikan Pola Konsumsi Ikan terhadap Peningkatan Asupan Protein, Kalsium, Zink dan Z-Score Tinggi Badan Menurut Umur pada Anak Stunting. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(2), 672–686. https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1188
Oktaviani, A. C., Pratiwi, R., & Rahmadi, F. A. (2018). Asupan Protein HewaniSebagai Faktor Risiko Perawakan Pendek Anak Umur 2-4 Tahun.Diponegoro Medical Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro), 7(2), 977–989.
Rr Dewi Ngaisyah, A. K. A. dan M. (2019). Creating the fish-based food production center as the dietary menu expansion for stunted children. 8(4), 249–252.
Thomas, T., Singh, M., Swaminathan, S., & Kurpad, A. V. (2020). Age-related differences in height gain with dairy protein and micronutrient supplements in Indian primary school children. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 29(2), 355–362. https://doi.org/10.6133/apjcn.202007_29(2).0018
Septinova, D., Hartono, M., Apriliana, E., Selawati, D., & Hermawan, A. (2023). Jurnal Pengabdian Fakultas Pertanian Universitas Lampung Edukasi dan Sosialisasi Pencegahan Stunting Melalui Gerakan Gemar Konsumsi Telur Bersama Orang Tua dan Siswa PAUD Anggrek Putih Bandar Lampung Jurnal Pengabdian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 02(02), 174–184.
Siringoringo, E. T. dkk. (2020). Karakteristik Keluarga dan Tingkat Kecukupan Asupan Zat Gizi Sebagai Faktor Kejadian Stunting. Journal Of Nutrition College, Volume 9, 54–62. http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnc
Sholikhah, A., & Dewi, R. K. (2022). Peranan Protein Hewani dalam Mencegah Stunting pada Anak Balita. JRST (Jurnal Riset Sains Dan Teknologi), 6(1), 95. https://doi.org/10.30595/jrst.v6i1.12012
UNICEF, Indonesia. (2020). Angka masalah gizi pada anak akibat COVID-19 dapat meningkat tajam kecuali jika tindakan cepat diambil. Indonesia. https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/angka-masalah-gizipada-anak-diindonesia-akibat-covid-19-dapat-meningkat-tajam
Vidiasari, V. (2022). Pemberian Makanan Tinggi Protein di Masa New Normal dalam Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Anak Balita. 5(2), 158–160.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H