Protein hewani umumnya memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan protein nabati (Sholikhah & Dewi, 2022). Protein ditemukan dalam makanan nabati dan hewani, tetapi protein hewani sangat bernilai untuk tubuh manusia sebagai pertumbuhanan dan perkembangan karena komposisinya sama dengan protein manusia. Pada umumnya protein nabati lebih murah. Protein ini lebih bermanfaat sebagai bahan bakar tubuh, tetapi menyediakan asam amino lebih murah yang dibutuhkan tubuh membangun jaringan (Vidiasari, 2022).
Dalam pola makan anak sebaiknya lebih memperhatikan komponen gizi terutama protein yang menunjang proses pertumbuhan tinggi badan serta memberikan nutrisi bagi pertumbuhan otak dan kecerdasan. Kekurangan mempengaruhi pertumbuhan anak dan menghalangi mereka mencapai potensinya. Dengan kata lain, menderita keterbelakangan pertumbuhan karena kekurangan protein yang dicerna (Septinova et al., 2023).Â
Komponen pangan hewani seperti telur, susu, daging, unggas, dan makanan laut merupakan sumber protein yang baik dari segi kuantitas dan kualitas (Bunga Ihda Norra et al., 2021). Sumber makanan protein nabati meliputi 4 jamur, biji-bijian, kacang-kacangan (misalnya kedelai, kacang tanah) dan produk olahannya (misalnya tempe, tahu, oncom, dan lainnya) (Hamidah et al., 2017).
Saat ini angka kecukupan konsumsi protein di Indonesia terbilang masih sangat kurang yaitu <80%, sekitar 36,1% penduduk dengan AKP sangat kurang (Kementerian PPN/Bappenas, 2019). Beberapa hasil penelitian juga menunjukan keterkaitan antara kurangnya konsumsi protein khususnya hewani dengan permasalahan gizi (stunting) salah satunya adalah penelitian yang dilakukan (Oktaviani et al., 2018) dan (Siringoringo, 2020) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah asupan protein hewani dengan perawakan pendek (stunting) pada anak.Â
Protein merupakan zat makro yang berfungsi sebagai reseptor yang dapat mempengaruhi fungsi DNA sehingga merangsang atau mengendalikan proses pertumbuhan. Semakin tinggi dan baik kualitas protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi juga kadar insulin (IGF-1) yang bertugas sebagai mediator pertumbuhan dan pembentukan matriks tulang.
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah studi literature review, berupa pencarian artikel nasional dan internasional yang menampilkan dalam bentuk fulltext PDF yang relevan dengan topik pembahasan menggunakan bantuan google chrome dengan mengakses database e-resourch dengan hasil akhir yang disesuaikan berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan peneliti.Â
III. HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Berdasarkan data dari artikel yang diperoleh, asupan protein hewani berperan positif dalam menurunkan prevalensi stunting. Sumber protein hewani yang dikonsumsi berbeda-beda di setiap wilayah. Dari keseluruhan referensi yang diperoleh sebagian besar menyatakan bahwa konsumsi protein hewani saat ini tersedia sebagai alternatif pengobatan dan pencegahan masalah stunting. Sebuah studi penelitian yang dilakukan di 49 negara dengan menggunakan metode analisis survei menunjukkan bahwa konsumsi ASF dapat menurunkan stunting sebesar 2,3%. Prevalensi stunting secara keseluruhan mencapai 31,5%, turun sekitar 7,2% ASF yang dikonsumsi bervariasi menurut wilayah, tetapi serupa seperti susu, telur, daging, dan ikan (Headey et al., 2018).
Penelitian (Sugeng et., al, 2023) menyatakan bahwa setelah pemberian makanan/suplemen tinggi protein hewani, kalsium dan zinc berupa nugget selama 6 minggu sebanyak 50 g setiap hari dengan kandungan zat gizi meliputi; Energi=90,45 kkal (6,7%AKG), Lemak total=4,27g (=9,0%AKG), Protein=7,57g (=37,5%AKG), Karbohidrat total =5,44 g(=2,5%AKG), Kalsium=27,56mg (=4,2%AKG) dan Zinc=0,44 mg (=14,6%AKG). Hasil menunjukkan ada perbedaan bermakna rata-rata tinggi badan anak sebesar 0,41±0,26 cm (p=0.000).
Berdasarkan riset (Kaimila et al., 2019), (Das et al., 2020), (Herber et al., 2020), dan (Mank et al., 2020) menunjukkan bahwa asupan protein dari sumber hewani dapat meningkatkan pertumbuhan tergantung pada usia (HAZ, LAZ, WHZ). Intervensi yang diterapkan untuk mendorong anak mengonsumsi ASF dalam jumlah lebih tinggi dapat mengurangi stunting, karena peningkatan asupan 1 gram protein hewani saja dapat meningkatkan tinggi badan sekitar 0.02 dalam hitungan bulan. Meningkatnya tinggi badan secara langsung dapat menurunkan prevalensi stunting (Kaimila et al., 2019). Selain itu penelitian (Thomas et al., 2020) juga menunjukkan adanya perbedaan signifikan tinggi badan anak sebelum dan sesudah intervensi pemberian protein hewani. Durasi intervensi yang dilaporkan dalam penelitian bervariasi dari 21 hari hingga 3 hingga 6 bulan. Dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber protein hewani (Martony et al., 2020), anak stunting diberi makan ikan lemuru selama 21 hari dan dilakukan pengukuran tinggi badan secara rutin setiap bulannya. Tingkat ketercapaian asupan protein hewani sebelum dan tanpa persetujuan mencapai 20,99% hingga 26,25%, dan setelah persetujuan mencapai 27,54% hingga 28,83%. Jenis protein yang diberikan pada penelitian ini sama dengan penelitian (Rr Dewi Ngaisyah, 2019) yaitu ikan.