Di Indonesia 28 Oktober dikenal sebagai hari Sumpah Pemuda. Tapi lima tahun lagi mungkin 29 Oktober akan dikenal sebagai hari di mana dunia sci-fi mulai menjadi kenyataan.
Bagi yang belum tahu, tanggal 29 Oktober 2021 kemarin Mark Zuckerberg mempresentasikan nama perusahaan baru yang melebur Facebook, Instagram, WhatsApp, yaitu Meta.
Bagi para Marvel & DC fans yang familiar dengan konsep "multiverse", fokus Meta ini adalah menciptakan "metaverse". Ketika artikel ini saya tulis, Meta sudah meluncurkan 8 video singkat yang menggambarkan "Metaverse". Saya tidak tahu bagaimana denganmu. Tapi saya termasuk banyak orang yang langsung tersenyum lebar ketika melihat presentasi visi Mark Zuckerberg ini.
Nah, kalau berita ini adalah berita yang positif kenapa judul artikel ini terkesan negatif?
Saya merasa bahwa jika tidak disadari, perkembangan teknologi yang baru ini akan membuat jurang antara "si bodoh dan si bebal" dengan "si pintar" makin lebar.
Saya akan mengelaborasi pernyataan itu sebentar lagi. Tapi pertama-tama mari kita lihat perkembangan "adult learning" yang jelas terlihat, terutama sejak pandemi ini.
Lebih canggih, lebih keren, tapi belum tentu lebih efektif
Sejak pandemi Covid-19 dunia adult learning tidak luput dari tren belajar berbasiskan video.
Lebih canggih, lebih keren, tapi belum tentu lebih efektif
Sebagai seorang coach dan praktisi learning & development untuk organisasi dan korporat, saya juga bertemu dengan banyak adult learners yang merasa sistem belajar berbasis video ini "keren" dan efektif.
Tapi di sini masalahnya. Untuk memproduksi materi pembelajaran berbasis video yang terasa "modern" dan "keren" ini, dibutuhkan resource yang jauh lebih besar dibandingkan metode yang lebih "tradisional", misalnya seperti e-book. Dan sebenarnya pihak yang menanggung biaya resource ini bukan hanya para "produsen", tapi juga para "konsumen".
Bagi para produsen, jauh lebih cepat dan murah untuk memproduksi puluhan halaman e-book dibandingkan memproduksi sebuah video pembelajaran berdurasi 30 menit yang dirancang dengan baik.
Keduanya sama-sama memerlukan research dan persiapan materi yang baik. Tapi peralatan yang digunakan untuk memproduksi video pembelajaran yang baik, jelas berkali-kali lipat lebih mahal.
Konsumen pun sebenarnya juga mengalami dampak negatif. Banyak orang menganggap bahwa video membuat kita belajar lebih efektif. Tapi sepertinya anggapan itu belum tentu tepat.
Di Juli 2018 MIT Integrated Learning Initiative mempublikasikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa belajar dengan metode melihat video tidak terbukti menghasilkan nilai ujian yang lebih baik dibandingkan dengan metode membaca. Penelitian itu justru membuktikan bahwa membaca justru menghasilkan nilai yang sama atau bahkan cenderung lebih baik.
Di tahun 2009 departemen pendidikan di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa berbagai "variasi" metode belajar itu tidak menghasilkan "significant learning outcomes", kecuali materi yang sedang dipelajari memang bersifat teknikal seperti teknik diagnosis pasien dengan penyakit tertentu atau bagaimana mengoperasikan program tertentu.
Sebagai seorang praktisi yang memproduksi materi belajar berbasis video pun, saya merasa bisa menyampaikan informasi dengan lebih efisien (durasi lebih singkat) dan detail ketika menulis daripada berbicara.
Kesimpulan sederhananya:
Kecuali dalam topik-topik yang bersifat teknikal, belajar dengan hanya menggunakan video justru mempunyai resiko:
- Resource cost produksi lebih mahal.
- Durasi belajar lebih lama dibandingkan membaca.
- Kualitas yang disampaikan tidak sedetail materi tertulis.
Lalu kenapa banyak orang merasa bahwa belajar menggunakan video lebih menyenangkan dan lebih efektif?
Nah, disinilah dilemanya.
Karakter ingin di-entertained
Dari pengalaman saya dalam melakukan coaching dalam topik learning & development baik secara personal dan korporat, ada satu alasan yang paling sering muncul ketika orang menolak untuk belajar.
"Terasa sulit!"
Menanggapi alasan ini, saya pernah melakukan percobaan kecil.
Saya ciptakan 2 buah materi. Materi A berisi hal-hal yang sebagian besar peserta sudah tahu dan bahkan berkali-kali pernah dengarkan dari berbagai macam seminar. Materi B berisi hal-hal yang relatif baru bagi para peserta.
Ketika saya menyajikan materi A dan B dalam bentuk tertulis, tingkat penolakan dan keluhan karena "terasa sulit" sangat tinggi.
Ketika saya menyajikan materi A dalam bentuk video, tingkat keluhan berkurang drastis.
Ketika saya menyajikan materi B dalam bentuk video, tingkat keluhan masih relatif tinggi.
Kesimpulan sederhananya:
Beberapa atau bahkan mungkin banyak orang enggan belajar, bukan karena materinya sulit dipelajari. Tapi karena mereka sebenarnya tidak benar-benar ingin belajar. Mereka ingin dihibur. Tapi mereka juga ingin aktivitas entertainment itu diberi label "belajar", "seminar", "training", dsb.
Kebiasaan "si bodoh" dan "bebal" yang membuat mereka tetap tertinggal
Dalam presentasinya mengenai Meta, Mark Zuckerberg memprediksi bahwa "Game is how a lot of people step into the metaverse for the first time."
Banyak orang akan terbiasa menggunakan teknologi baru ini melalui konteks hiburan. Lalu mereka menginginkan dunia belajar juga menggunakan standar yang sama. Karena jika tidak, psikologi dan daya konsentrasi mereka yang telah begitu terbiasa dengan entertainment content itu akan berteriak: "Ini terasa sulit dan membosankan!"
Akibatnya orang-orang ini akan memutuskan untuk menunda belajar sampai ada materi belajar yang bisa memuaskan kebutuhan mereka untuk dihibur itu.
Di sisi lain, saya yakin akan ada unit-unit bisnis dengan dana atau dukungan investor besar yang akan menyambut "kebutuhan pasar" ini. Tapi karena proyek ini memakan resources yang sangat besar, maka mereka akan membuat materi untuk pangsa pasar terbanyak.
Masih ingat dengan percobaan kecil saya? Saya berasumsi, pangsa pasar terbanyak adalah orang-orang yang sebenarnya tidak mau belajar tadi.
Jadi unit-unit bisnis ini akan membanjiri pasar adult learning dengan pengetahuan yang 50% lebih sebenarnya bisa dipelajari dengan biaya lebih murah dan dengan waktu lebih singkat.
Tapi hei, bagaimanapun itu "tren pasar" ya kan? Jadi secara bisnis, itu adalah keputusan yang logis. Pasar meminta, maka pebisnis akan menyediakan.
Di sisi lain, orang-orang yang lebih bijak akan melihat jebakan tren ini.
Mereka tidak menolak teknologi baru. Mereka sekedar paham bahwa proses belajar yang benar-benar menghasilkan perkembangan riil tidak perlu selalu dicampurkan dengan perasaan menyenangkan.
Belajar sesuatu yang baru memang sulit. Tapi itulah alasan kita belajar. Untuk menyelesaikan masalah yang belum bisa kita selesaikan.
Pada akhirnya orang-orang "bijak" inilah yang akan terus memimpin di depan, meninggalkan "orang-orang bodoh dan bebal" itu di belakang. Kenapa? Karena mereka terus mengembangkan kapasitas dirinya dan kapasitas timnya, ketika banyak orang lain menghabiskan resorurce mereka sekedar untuk merasa dihibur.
.
.
For more insight on applied human behavior on professional development, salesmanship, and leadership engagement, follow my accounts at: Instagram, LinkedIn, YouTube, Spotify, and other podcast platforms.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H