Tanggapan pertama
Selamat sore. Ijin memberi komentar. Kebetulan untuk daerah kami, saya adalah salah satu anggota Badan Pengawas RS. Membaca tulisan dr Erik, beberapa masukan dari kami:
1. Harus tetap optimis bahwa pelayanan  kesehatan rujukan di RS saat ini sudah jauh lebih  maju dibandingkan 10 thn yl.
2. Dgn era BPJS banyak kemajuan dari sisi pelayanan terhadap jumlah pasien yang terlayani.
3. Untuk pelayanan kesehatan rujukan (RS) berjenjang sudah semakin baik di Indonesia. Memang masih ada kekurangan dalam mutu pelayanan. Angka INM (Indikator Nasional Mutu). Dari 9 indikator yang masih rendah, tentang ketepatan waktu pelayanan dokter spesialis, waktu visite / wkt mulai rawat jalan, juga waktu tunggu operasi.
Semoga bisa menjadi sedikit pencerahan.
Komentar dr Erik:
Banyak terima kasih atas informasinya yang berharga dok. Tapi sebelumnya maaf dok, kita bicara 2 hal yg berbeda kayaknya. Meskipun pada dasarnya tujuannya sama yaitu perbaikan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Saya sedang berbicara bagaimana layanan RS bisa ditingkatkan sehingga mampu mencegah pasien2 non BPJS berobat ke LN. Menurut saya, hal ini bisa dilakukan jika pelayanannya dipisah. Budaya RS yang biasa melayani pasien BPJS, cenderung memiliki ketrampilan (al.) :
- mudah ngeles dan
- beragumentasi
- tidak menjelaskan detil penyakitnya
Pasien non BPJS tentu bisa kaget dengan ketrampilan ini karena mungkin tidak mengharapkan hal tersebut.
Setiap kali Pak Jokowi meresmikan RS Internasional yang diharapkan mampu mencegah pasien Indonesia ke Luar Negeri, selalu menitip pesan, jangan lupa melayani pasien BPJS ya.
Apakah bisa sumbangsih / partisipasi RS yang targetnya untuk mencegah pasien Indonesia ke luar negeri, dicari cara lain, sehingga budaya yg saya sebutkan di atas tidak sampai dimiliki SDM RS Internasional tersebut?
Bagi Bpk/Ibu pejabat / manajemen RS tentu tidak pernah merasakan hal ini.
Tanggapan kedua
Sulit meningkatkan kualitas RS bila harus juga melayani BPJS.
Tidak ada tombol switch on-off bagi SDM RS yang siap dipencet untuk membedakan pelayanannya.
Budaya melayani pasien BPJS akan terbawa sampai ke pasien non-BPJS.
Seharusnya RS dikhususkan apakah harus bpjs atau non-bpjs kalau mau merebut kembali arus pasien keluar negeri.
Tanggapan ketiga
Saya pernah berobat ke RS Singapore. Rasanya kwalitas sama bahkan beberapa dokter Indonesia jadi konsultan di sana.
Kalau di sini pasien harus menunggu dokter di sana  dokter yang menunggu pasien
Di sini, kita yg capek menunggu. Mungkin beda di tarif pelayanan ya. Tarif 1 pasien di sana bisa 10 kali dari pasien disini....
Tanggapan keempat
Saya tidak setuju dengan anjuran dokter penulis pada kesimpulan artikel ini, yang dengan "enteng"-nya menganjurkan masyarakat umum untuk memilih RS yang non-BPJS dengan tarif 2 hingga 3 juta rupiah. Sebagai dokter seharusnya penulis membuat banyak upaya - berupa pemikiran atau apa pun - untuk memperbaiki sistem dan kualitas pelayanan kesehatan di semua RS termasuk RS BPJS sehingga masyarakat secara merata tanpa memandang kemampuan ekonominya bisa memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan tanpa diskriminasi.
Bagaimana masyarakat bisa membayar tarif RS sebesar Rp 1 juta ke atas jika untuk membayar iuran bulanan BPJS saja harus menunggak atau menghilangkan kebutuhan hidup lainnya? Dokter penulis harus paham bahwa untuk ongkos naik kendaraan umum ke RS saja mereka mungkin pas-pasan atau harus utang pinjam.
Anjuran dokter penulis tidak realistik untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Salam