Mohon tunggu...
Erik Tapan
Erik Tapan Mohon Tunggu... Dokter - Social Media Health Consultant

Sebagai seorang Health Consultant, saya akan berusaha memberi solusi terbaik (efisien, efektif & aman) bagi klien yang kebetulan mengalami ketidakberuntungan dengan kesehatannya. Pengalaman saya dlm bidang kedokteran, farmasi/obat2an, herbal, terapi alternatif / energi, internet dan social media. Topik yang sering ditangani: anti aging, masalah ginjal, penyakit degeneratif, lansia, dll. Silakan kontak saya untuk memperoleh waktu diskusi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kisah Nyata: Salah Pilih Rumah Sakit, Cacad Seumur Hidup!

28 Juni 2024   11:27 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:54 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Ruang Tunggu Rumah Sakit

Kisah nyata: Salah pilih Rumah Sakit, Cacad Seumur Hidup!!

Social Experiment: Benarkah layanan RS terpengaruh apakah mereka melayani pasien BPJS atau tidak?

Himbauan Presiden Jokowi agar industri kesehatan Indonesia bisa menciptakan Rumah Sakit yang pelayanannya setara dengan di luar negeri, agar masyarakat Indonesia tidak berobat di luar negeri haruslah disambut dengan baik. Mudah-mudahan kisah di bawah ini bisa menjadi introspeksi kita semua. Bahwa layanan yang baik itu tidak hanya tercipta dari gedung yang mewah, bersih dengan alat diagnostik yang canggih-canggih. Sangat berperan SDM di dalamnya dan bagaimana RS bisa mengeliminer faktor-faktor yang mengahalanginya.

Selama ini, saya berasumsi bahwa penyebab banyaknya keluhan pasien Indonesia saat berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes: dokter mandiri, klinik, rumah sakit, dll.) di Indonesia adalah karena fasyankes tersebut masih menggabungkan pelayanan pasien BPJS dan non BPJS. Meskipun ada pihak yang tidak setuju tapi sudah bukan rahasia lagi pasien-pasien BPJS jumlah tidak sedikit dengan fee (dokter, perawat dan fasyankes) yang tidak sebanding. Sebagai dokter yang praktek di fasyankes tersebut, tentu tidak bisa memberikan layanan yang optimal jika pasien yang akan diperiksa begitu banyak. Sangat tidak adil rasanya membandingkan dengan pelayanan kesehatan di luar negeri, dimana tenaga medisnya tidak perlu diburu-buru dalam melayani. Dokter bisa sepenuhnya mengembangkan profesionalitasnya. Seperti kata Pak Menkes baru-baru ini, kalau ada teknologi hightech (daripada Stetoskop), kenapa tidak menggunakannya.

Akibat salah memilih Rumah Sakit
Pengalaman kami di bawah ini menguatkan asumsi kami tersebut, meskipun -sedihnya- harus mengalami sendiri.

Karena tidak ingin mengalami pelayanan ala BPJS, kami sengaja berobat ke dokter diluar pelayanan BPJS, yaitu pada hari Sabtu. Pada hari tersebut sang Dokter hanya melayani pasien-pasien swasta. Pasien BPJS dilayani pada hari Senin hingga Jumat. Biaya berobat dan tindakan pun disesuaikan tentunya, sekitar 1 hingga 2 juta rupiah per kunjungan. Kami berharap  layanan kesehatan yang kami terima tentu bisa berbeda dengan saat kami menggunakan fasilitas BPJS.

Ternyata tidak. Mulai dari perawat yang memperlakukan kami layaknya pasien BPJS (menyelak antrian dan masih berargumentasi mencari pembenaran) hingga dokter yang meskipun melayani dengan ramah (mungkin karena sudah mendengar kami berargumentasi dengan perawat di luar kamar prakteknya) tapi sayangnya diagnosis yang diberikan masih keliru dan kami tidak diberitahu what's next.

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Sepengetahuan saya jika seorang dokter masih belum bisa menentukan diagnosis suatu penyakit, dia wajib menentukan apa yang disebut Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding. Selayaknya hal ini perlu diinfo juga ke pasien, misalnya, jika dalam 1 minggu (atau beberapa hari) belum ada perbaikan, datang kembali ke sini, kita lihat kemungkinan lain. Penjelasan ini tidak kami terima dari dokter apalagi dari perawat, sehingga kondisi golden period (masa di mana penyakit bisa sembuh seperti sediakala tanpa kecacadan) penyakit jadi terlewat begitu saja. Hal ini baru kami ketahui saat periksa ke dokter di RS lain dalam rangka mencari second opinion.

Saat menebus obat pun, meskipun di ruangan farmasi fasyankes tersebut pasien yang menunggu masih sedikit (mungkin hanya kami), dan karena masih pagi hari (sekitar pkl 9:00) dan pada Hari Sabtu tidak ada layanan BPJS, tetapi kami harus menunggu untuk memperoleh obat (bukan racikan), lebih dari 1 jam.

Karena tidak puas dengan pelayanan dari RS pertama (tidak ada perubahan setelah seminggu tanpa diberi tahu harus ngapain), kami mencari RS yang tidak menerima pasien BPJS dengan biaya per kunjungan (konsul dan tindakan) sekitar 2 - 3 juta rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun