Dalam agama Kristen, positivity tercermin dalam ajaran kasih dan pengampunan. Yesus Kristus mengajarkan kita untuk mencintai bahkan musuh kita.
Sikap ini adalah puncak positivity---pengampunan adalah kebesaran jiwa yang hanya mungkin dicapai melalui pandangan positif yang mendalam terhadap manusia dan kemanusiaan.
Buddhisme mengajarkan metta atau cinta kasih tanpa syarat, di mana kita memelihara pikiran positif terhadap semua makhluk.
Positivity dalam Buddhisme bukan sekadar perasaan baik, tetapi merupakan latihan harian dalam memberikan cinta kasih dan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain, melampaui ego dan batas diri.
Dalam ajaran Hindu, konsep santosh (kepuasan batin) mengajarkan positivity dalam bentuk penerimaan---bukan pasrah, tetapi penerimaan yang aktif dan sadar akan apa yang terjadi, sambil terus berusaha menuju kebaikan yang lebih besar.
Konfusianisme mengajarkan pentingnya harmoni sosial, yang hanya bisa dicapai dengan sikap positif terhadap hubungan dengan orang lain. Melalui tindakan yang etis dan bertanggung jawab, positivity menciptakan keharmonisan dalam hubungan antarindividu dan masyarakat.
Bahkan dalam tradisi non-agama seperti Stoikisme, positivity hadir dalam bentuk kendali diri. Stoik seperti Epictetus menekankan bahwa meskipun kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi pada kita, kita bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi.
Ini adalah esensi dari positivity---penerimaan yang bijak terhadap dunia yang tak selalu bisa dikendalikan, sambil terus berfokus pada apa yang bisa kita lakukan.
-000-
Positivity adalah kekuatan yang mengakar dalam kehidupan yang bermakna. Meskipun sering disalahartikan sebagai ilusi atau penolakan terhadap realitas, positivity sejati adalah kekuatan mental dan spiritual yang memungkinkan kita untuk tumbuh, bertahan, dan menemukan makna di tengah badai kehidupan.
Kritik terhadap positivity hanya mempertegas perlunya keseimbangan emosional, bukan penolakan terhadap realitas.