Para pemimpin yang mempraktikkan positivity mampu memotivasi tim mereka, menjaga semangat tetap tinggi, dan membawa inovasi di tengah ketidakpastian.
Namun, positivity tidak luput dari kritik. Istilah "toxic positivity" muncul untuk menggambarkan pemaksaan untuk selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi sulit.
Banyak yang merasa bahwa ini dapat menyebabkan seseorang menekan emosi negatif yang sah, seperti kemarahan atau kesedihan.
Tidak setiap perasaan harus diabaikan atau diganti dengan senyum. Dalam beberapa kasus, emosi negatif adalah sinyal yang perlu didengar, dipahami, dan diatasi.
Tetapi kritik ini sebenarnya menekankan pentingnya positivity yang lebih otentik. Positivity sejati tidak mengabaikan realitas---ia adalah penerimaan yang bijaksana terhadap emosi negatif tanpa membiarkan diri tenggelam di dalamnya.
Orang yang benar-benar positif merasakan setiap luka dan air mata, namun tetap memilih untuk berjalan dengan keyakinan bahwa badai yang mereka hadapi akan membawa pelangi.
Ini bukanlah bentuk pelarian; ini adalah kekuatan untuk bertahan dan berkembang.
-000-
Positivity dalam Ajaran Agama dan Filsafat
Positivity bukanlah konsep baru. Ia telah ada selama ribuan tahun dalam berbagai ajaran spiritual dan filsafat di seluruh dunia.
Dalam Islam, husnuzon (berprasangka baik) mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Tuhan dan sesama manusia. Meski cobaan datang, umat Muslim diajarkan untuk percaya bahwa setiap kesulitan memiliki hikmah tersendiri.