Sebelum aku menulis ini, entah berapa lama aku duduk bertengger dan berdiam diri layaknya terpaku.
Tat kala harus berkutat dengan problema yang menghadang, sepanjang hari sepanjang malam di gubuk tua yang nampak menyeringai dan salam sapa kepadaku
Selain menjadi tempat kedua untuk mencurahkan isi hati yang digelayuti masalah yang menghampiri, gubuk ini layak nya sangat guru psikologis yang menentramkan hati.
Mengapa harus aku. Iya, mengapa harus aku yang menimpa masalah dengan melewati jalan terjal nan penuh lika liku ini.
Mungkin rasanya putus asa senantiasa menghampiri dengan menyelinap dalam diam tapi tidak terlihat oleh mata, akan tetapi dengan hati.
Masalah demi masalah terkadang bisa dicegah dan diselesaikan dengan segera, akan tetapi ada juga masalah yang aku hanya bisa tertengadah dan memanjatkan doa.
Sembari menulis di depan kaca sambil tersenyum-senyum sendiri mengisahkan begitu banyak yang diderita.
Tidak sampai disitu, masalah demi masalah silih berganti datang dan terkadang bisa muncul di waktu yang bersamaan.
Di penghujung waktu yang seharusnya harus berehat, kini terpaksa digunakan untuk menyelesaikan masalah yang tiada henti sampai nya hingga kapan.
Tidak mau berkutat dengan masalah, kaki dijiwa raga ini seolah ingin mengajak untuk melepas penat yang melanda berhari hari dengan berlibur.
Tetapi pada saat berlibur, harapan dan ekspetasi kusudah bayangkan seperti Menara Eiffel tingginya dan kenikmatannya seluas samudera Hindia.
Entah lah. Ternyata yang kualami adalah hal hal pahit yang tidak memanjakan mata dan raga.
Mengapa harus aku. Mengapa harus aku yang mengalami ini untuk menikmati rentetan masalah yang menghujam tiada henti.
Buku demi buku kutorehkan dengan tinta pena yang begitu hitam pekat dan tajam, seolah sejalan dengan hidup yang begitu getir yang ingin kutorehkan di secarik kertas ini.
Langit mendung. Meskipun langit juga menderaku dan menjadi mendung dan gelap, upaya tuk mencurahkan isi hati tetap terpatri dan enggan pudar dalam hati.
Seperti hari ini. Jalan demi jalanku tapaki untuk menemukan petuah yang menyejukkan hati tanpa ada alih alih rasa iri dengki, benci didalam hati.
Mata sayup. Meskipun mata mulai terkulai letih dan pandangan menjadi kabur, tetap saja kuteruskan perjalanan ini hingga akhir nanti.
Inginku berbagai problema bisa terpecahkan sekarang juga, namun waktu bagai tak mendukung dan nampaknya aku harus menikmati masa masa indah bersama masalah ku
Mengapa harus aku. Iya, karena kamu memang di pilih untuk mengemban amanat itu.
Mengapa harus aku. Iya, karena jika digantikan dengan orang lain, belum tentu sekuat kamu.
Mengapa harus aku....! Berhenti bertanya itu berulang kali kepadaku dan senantiasa gunakan waktu untuk kamu bersyukur.
Di penghujung umur yang tersisa, gunakan waktu dengan sebaik-baiknya, karena entah siapa saja bisa meninggal kapan saja dan di mana saja
Kondisi....! Entah seperti apa penghujung akhir hayat mu nanti, tapi kini, persiapkan dengan matang dan lewati masalah dengan suak cita dan bersyukur tiada henti.
Mengapa harus aku....! Iya, kamu pantas untuk mendapatkannya,
Mengapa harus aku...! Iya, karena kamu memenuhi syarat untuk mengemban problema yang begitu besar dan amat banyak ini.
Mengapa harus aku...! Cukup jangan bertanya itu kembali,
Cermin di depanmu sudah mulai jenuh dengan keluh kesah yang senantiasa kau utarakan kepadanya. Ia hanya meminta kamu tenang dan tetap bersyukur.
Diamlah wahai diriku...! Lihat sebuah piring bejana sudah tersedia makanan 4 sehat 5 sempurna untukmu.
Untuk mengobati dan menjadi perantara hingar bingar kesulitan yang menderamu dan semoga kamu lekas pulih...
Semarang, 06.06.2022
M. Erik Ibrahim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H