Lepas dari Federasi Melanesia, para politisi terdidik ini melihat Papua didirikan negara sendiri di luar Federasi. Dengan tujuan itu, mereka menyadari bahwa pembentukan suatu negara modern melalui mekanisme yang sistematis dan persiapan yang matang, meletakan dasar dan lembang negara serta alat perlengkapan negara.
Dalam misi itu kelompok terdidik Papua dibentuk oleh pemerintah Belanda mempersiapkan dewan tingkat pusat, kota dan daerah di Papua Barat. Dalam suatu pertemuan dengan dua puluh orang Papua seperti Marcus Kasiepo, Nicolas Youwe, Osok, Herman Womsiwor, Set Rumkorem, Eliaser Bonay dan Petrus Wetterbossy. Dalam pertemuan ini dibahas pembentukan parlemen Nasional, parlemen kota dan parlemen daerah.
Dalam rapat ini secara tegas mereka mengatakan bahwa hak suara aktif maupun pasif yang menjadi warga negara Papua Barat adalah terbatas pada orang-orang pribumi sendiri dan orang lain sudah lama tinggal dan diakui secara adat. Ketika ditanya tentang orang Belanda, Cina dan Indonesia yang tinggal di Papua, bila merdeka para migran itu akan tetap tinggal atau tidak? Maka secara tegas mereka mengatakan bahwa untuk mereka (migran) tidak ada tempat tersendiri di negara Papua. Mereka lebih baik mencari masa depan mereka di tempat lain dan nasionalisme Papua ditentukan oleh keaslian orang Papua.
Di mana Parlemen daerah mulai dibentuk pada 24 Juni 1959 di Biak dengan nama Parlemen Kankain Kankara (tua-tua adat). Kemudian dilanjutkan di daerah Japen-Waropen, Pedalaman Holandia dengan nama Parlement Dafansoro (dari nama Gunung Dafansolo/Cyclop), Fakfak, Raja Ampat, dan Merauke.
Parlemen Merauke dan Muyu dengan nama Parlemen Marind Anum Ha, orang yang benar. Pembentukan Parlemen di semua daerah berjalan lancar dan angka partisipasi mencapai 80% kecuali di Japen. Orang Japen menentang pembentukan Parlemen ini, karena mereka mendukung Silas Papare dan rencana aneksasi Papua oleh Indonesia.
Pemilihan parlemen nasional dibentuk 24 daerah pemilihan atau distrik dengan masing-masing 12 sampai 15 ribu pemilih. Dalam proses pemilihan khusus di kota Holandia (Jayapura) dan Manokwari dipilih secara langsung dan daerah-daerah yang belum terbuka, di mana penduduk belum mengerti proses demokrasi dipilih perwakilan dan mereka yang memilih anggota parlemen nasional. Jumlah anggota parlemen ditetapkan menjadi 29 kursi, termasuk ketua.
Pemilihan parlemen nasional dimulai akhir Desember 1960 dan para anggota parlemen nasional adalah: Nicolas Jouwe (Holandia), M.Suwai (Nimboran), Dorcas Tokoro-Hanasbey (Holandia), M. Kasiepo dan B. Mofu (kepulauan Biak-Numfor), M.B. Ramanday dan E. J. Bonay (Japen Waropen), P. Torey (Ransiki), A. Arfan (Raja Ampat), A.E. Onim (Teminabuan), D. Deda (Ajamaru), N. Tangahma (Fakfak), A.K. Gebze (Merauke), dan M. Ahmad (Kaimana), Maturbong seorang dari Kei-Maluku wakil minoritas dan H. Womsiwor, Karel Gobay (wakil dari daerah Mee). Selain itu, empat orang Belanda yaitu Olaf de Rijke (Holandia) dan A.R. Zeeland (Fakfak-Manokwari), Kamma dan Peter C. Van den Berg yang mewakili daerah pegunungan tengah.
Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan Parlemen Nasional mencapai 70 sampai 85%, sedang di daerah pedalaman yang belum berkembang khusus di pegunungan tengah ditunjuk wakil-wakilnya sama dengan pemilihan parlemen daerah. Tetapi sistem petunjukan wakil ini dipersoalkan oleh orang-orang Serui pro Indonesia.
Beberapa tokoh Islam yang kalah suara seperti Haji Ibrahim, raja Rumbati dan orang-orang Maluku juga merontak untuk diangkat menjadi anggota Parlemen, tetapi hal itu tidak mungkin. Mereka ini kemudian menjadi pro Indonesia. Parlemen ini dilantik tanggal 5 April 1961 dengan nama Nieuw Guinea Raad, Parlemen New Guinea di Holandia (Jayapura).
Dalam upacara pembukaan dan pelantikan Parlemen New Guinea ini dihadiri wakil-wakil dari beberapa negara secara resmi, yaitu wakil-wakil Pemerintah Inggris, Prancis, Australia, Gubernur Papua Ausralia (PNG), sedang pemerintah Amerika membatalkan rencana untuk hadir. Karena Amerika sedang berunding dengan Indonesia untuk mengambil isi gunung emas di Tembagapura.
Bot dalam pidato pelantikan ini, meminta waktu kepada Parlemen satu tahun untuk memberikan nasihat tentang cara bagaimana hak menentukan nasib sendiri penduduk asli Papua dapat dilaksanakan. Dengan demikian pada hari pertama pelantikan Parlemen sudah diakui secara resmi oleh Belanda, Australia, Inggris dan Prancis mengenai kelahiran negara Papua Barat.