Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #7

15 Januari 2024   11:04 Diperbarui: 15 Januari 2024   11:58 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penasaran dengan cahaya di matanya, lebih bersinar dari bintang yang mulai bermunculan, Aditya mengangguk. "Aku suka itu."

Lonceng di atas pintu galeri membunyikan kedatangan mereka, mengumumkan bahwa mereka memasuki dunia di mana warna dan bentuk berpadu dengan cara yang spektakuler. Tatapan Aditya menjelajah, mengamati kanvas-kanvas yang berdenyut-denyut dengan kehidupan, patung-patung yang seolah bernafas.

"Lihat yang ini," bisik Agnes sambil menuntunnya ke sebuah lukisan abstrak yang menantang kenyataan. Warna merah tua dan safir bersaing untuk mendominasi kanvas, pertarungan mereka merupakan simfoni hening.

"Luar biasa," desah Aditya, terperangkap dalam pusaran nuansa yang berbicara tentang kekacauan dan harmoni dalam satu tarikan napas. Dia hampir bisa merasakan denyut jantung sang seniman, setiap sapuan kuasnya berdetak kencang.

"Seni adalah bahasa jiwa," renung Agnes, tangannya mengusap lembut lengan pria itu. "Ia mengungkapkan apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata."

Aditya menoleh ke arahnya, tidak hanya melihat lukisan itu tetapi juga pantulan lukisan itu di matanya yang tajam. Dia menyadari bahwa seni, seperti kopi, memiliki kedalaman yang belum dia jelajahi. Bayangannya sendiri berputar-putar di dalam dirinya---pikiran tentang betapa rutinitas telah menumpulkan indranya terhadap keindahan seperti itu.

Saat mereka melanjutkan perjalanan melalui galeri, setiap karya menarik Aditya ke dalam narasi uniknya, membujuknya untuk melihat melampaui permukaan, untuk menyelami lapisan makna dan emosi.

"Sepak bola!" Seruan Fajar yang tiba-tiba menyadarkan Aditya dari lamunannya. "Ada pertandingan persahabatan malam ini dengan beberapa orang dari kantor. Bagaimana menurutmu, Aditya? Mau bergabung dengan kami?"

Aditya ragu-ragu, sepak bola adalah wilayah asing---bidang lain yang mengutamakan presisi dan keterampilan. Namun hari itu adalah tentang menerima sesuatu yang baru, tentang menantang batasan-batasan yang ada.

"Tentu," dia mendapati dirinya berkata, bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Mengapa tidak?"

"Hebat! Sudah beres kalau begitu," Fajar berseri-seri, sudah menantikan kompetisi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun