Ketika malam semakin larut, bintang-bintang menghiasi hamparan nila di atas, Aditya berbaring di atas selimut, tangan di belakang kepala, menyerap simfoni jangkrik dan gumaman lembut tawa di kejauhan. Ada kehangatan di perutnya yang tidak ada hubungannya dengan makanan atau anggur---itu adalah pancaran koneksi, nyala api gairah bersama.
Tawa Agnes meluap-luap karena kegembiraan yang tulus, dan sesekali tawa Fajar terdengar di sela-sela malam itu. Mereka bertukar cerita tentang ambisi masa kecil, tentang patah hati yang berujung pada penemuan jati diri, dan tentang ketakutan diam-diam yang menyelimuti bayang-bayang aspirasi mereka.
Aditya mendengarkan, benar-benar mendengarkan, dan ketika dia berbicara, kata-katanya membawa beban ketulusannya. Dia berbicara tentang kecintaannya pada nada halus dalam secangkir kopi single origin, bagaimana setiap tegukan dapat membawanya ke negeri yang jauh. Dia berbagi kedamaian yang dia temukan di saat-saat tenang sebelum fajar, ketika dunia masih tertidur, dan satu-satunya suara yang terdengar hanyalah tetesan lembut air yang dituangkannya.
"Hidup ini lucu, bukan?" Aditya merenung keras-keras, pandangannya hilang di antara konstelasi. "Anda pikir Anda sudah mengetahuinya, tapi kemudian hal itu membawa Anda ke jalur yang belum dipetakan."
"Tapi bukankah itu keindahannya?" Agnes merenung, siluetnya terpampang di latar belakang cahaya bintang.
"Mungkin saja," Aditya mengakui, merasakan penyerahan diri pada rancangan besar alam semesta.
Mereka tinggal di sana, terbungkus dalam kenyamanan kekeluargaan yang baru ditemukan, hingga malam menjadi dingin dan taman menjadi kosong. Saat mereka berkemas, janji pun dibuat---untuk saling mendukung impian satu sama lain, menjadi pemandu sorak, menjadi kritikus yang jujur bila diperlukan.
Berjalan pulang sendirian, Aditya mengingat kembali percakapan hari itu di benaknya. Ia memikirkan kegigihan Agnes dalam berekspresi dan semangat Fajar yang tiada henti untuk meraih prestasi; dua sisi mata uang yang sekarang dia rasakan tersimpan di sakunya. Seolah-olah mereka memberinya lensa yang bisa digunakannya untuk melihat dunia secara baru---bersemangat, tak terduga, indah sekali.
Dia membuka kunci pintunya, suara familiar itu terdengar seperti pesan selamat datang di apartemennya yang sunyi. Sambil menghela nafas puas, Aditya duduk di kursi berlengan, memejamkan mata, dan membiarkan rasa syukur membanjiri dirinya.
"Terima kasih," bisiknya dalam keheningan, kepada teman-temannya yang tak terlihat namun nyata hadir, "karena telah menunjukkan kepadaku kaleidoskop kehidupan di luar rutinitasku yang bernuansa sepia."
BERSAMBUNG ....