Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #4

12 Januari 2024   18:52 Diperbarui: 12 Januari 2024   18:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB 4: Bertemu Mentor

Kedai kopi yang terletak di sudut Jalanan Kenangan ini memiliki kehangatan yang meresap hingga ke tulang. Dinding-dindingnya, dipenuhi rak-rak berisi novel-novel yang banyak dibaca dan remang-remang oleh lampu gantung Edison, membisikkan kisah-kisah tentang ribuan momen hening. Udara kental dengan kayanya aroma kopi yang baru diseduh, aroma yang seakan menyatukan permadani gumaman lembut dan tawa yang memenuhi ruangan.

Di tempatnya biasanya, di kursi empuk dekat jendela yang terkena rintik hujan, duduklah Siti Aisyah. Tangannya yang halus memegang cangkir porselen, sulur-sulur uap menari ke atas, bercampur dengan gumpalan perak di rambutnya. Setiap kali dia menyesap, matanya akan sedikit terpejam, seolah-olah kopi itu bukan sekadar minuman melainkan pintu gerbang menuju dunia kenangan.

“Selalu kopi hitam, Bu Siti?” barista itu bertanya sambil tersenyum, sudah mengetahui jawabannya.

“Ya, seperti biasa,” jawab Siti Aisyah lembut, suaranya setara dengan beludru – lembut dan menenangkan. Matanya berbinar-binar karena kebaikan jiwa yang telah melewati masa-masa sulit namun menemukan kedamaian dalam ritual sederhana dari cangkir hariannya.

Seorang pengamat mungkin mengira dia sendirian dalam lamunannya, namun sebenarnya dia membawa serta kehangatan hubungan antarmanusia, hati yang terbuka dan siap menyambut siapa pun yang meminta nasihatnya. Dia adalah mercusuar sederhana di kedai kopi, cahaya bagi mereka yang terombang-ambing di lautan kompleksitas kehidupan.

Aditya berlama-lama di tepi oasis beraroma kopi, pandangannya beralih dari cahaya lembut lampu gantung ke jendela tempat tetesan air hujan membentuk simfoni tak menentu di kaca. Di sudut harmonis itulah duduk Siti Aisyah, kehadirannya menjadi jangkar dalam irama kehidupan kedai kopi yang mengalir.

"Izin, Bu," dia mendengar dirinya sendiri berkata, suaranya nyaris tidak sebanding dengan gumaman ruangan yang penuh sesak itu. Kata-katanya terasa seperti pelanggar, berani mengganggu tempat perlindungan tenang yang dia wujudkan.

Detak jantungnya menggema di dadanya, selaras dengan detak jam dinding saat dia mengambil langkah maju yang ragu-ragu. Jarak di antara mereka menyusut seiring dengan denyut nadinya, dan keingintahuan Aditya terbentang seperti uap yang mengepul dari cangkir di sekelilingnya.

"Ada yang bisa aku bantu, Nak?" Mata Siti Aisyah bertemu pandang dengannya, lautan hikmah terbelah hingga ia bisa melihat sekilas kedalamannya.

"Um, aku...," Aditya meraba-raba tali ranselnya, kulit usang yang familier di bawah jari-jarinya. Dia bergumul dengan keheningan, beban pertanyaannya menahan lidahnya.

“Maaf mengganggu, Bu Siti,” akhirnya dia berhasil, perkataannya menjembatani jurang keraguan. "Saya selalu melihat Anda di sini, dan...dan saya merasa ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari Anda."

Pengakuan itu tergantung di antara mereka, sebuah persembahan halus kepada wanita yang sepertinya merangkai cerita ke dalam udara yang dia hirup.

“Silakan, duduk,” ajaknya, suaranya seperti sapuan kuas seorang pelukis ulung, menambah warna pada kanvas kosong kekhawatirannya.

Aditya mengangguk, simpul di perutnya mengendur saat dia menarik kursi di seberangnya. Tangannya menunjukkan sedikit getaran saat dia meletakkannya di atas meja, pola butiran kayunya merupakan bukti dari percakapan yang tak terhitung jumlahnya yang terjadi di permukaannya.

“Terima kasih, Bu,” gumamnya, napasnya menjadi stabil karena bercampur dengan aroma kopi yang menenangkan. Momen terentang, senar kencang siap melepaskan melodi pertukaran mereka yang akan datang.

Kopi hitam juga untuk saya, tolong,” dia memberi isyarat kepada barista, menggemakan permintaan Siti Aisyah sebelumnya. Saat dia duduk di kursi, dia merasakan benang-benang penghubung pertama terjalin menjadi jalinan pagi yang tenang.

Tatapan Aditya tertuju pada kerutan lembut di sekitar mata Siti Aisyah, yang berbicara tentang tahun-tahun yang penuh dengan tawa dan kesedihan dalam takaran yang seimbang. Tangannya menggenggam cangkir kopi, sebuah pulau porselen di tengah lautan cerita masa lalunya.

“Boleh aku tahu, Bu,” Aditya memulai, suaranya terdengar di sela-sela gumaman kedai kopi, “bagaimana Anda menemukan kedamaian dalam kesibukan dunia ini?”

Senyumannya terbentang perlahan, bagaikan kelopak bunga melati di bawah sinar fajar, hangat dan mengundang. “Ah, Aditya,” katanya, kata-katanya selembut buih di minuman mereka, “kedamaian itu sering kali datang saat kita tidak mencarinya.”

Dia menyaksikan jari-jarinya menelusuri tepi cangkirnya, sebuah tarian hening yang sangat ingin dia pahami. Uap dari kopinya sendiri menyapu wajahnya, bisikan kehangatan menjanjikan kenyamanan.

“Dan kapan kita berhenti mencarinya, Bu?” Pertanyaannya bagaikan kerikil yang dijatuhkan ke dalam air tenang kekacauannya, riak-riak mencari jawaban.

“Ketika kita mulai memahami bahwa kebahagiaan terletak pada hal-hal sederhana,” jawabnya, matanya mencerminkan kekuatan tenang seseorang yang telah berjalan melewati badai namun masih menemukan kegembiraan dalam aroma hujan di bumi yang kering.

Aditya menyesap kopi hitamnya, rasa pahit yang menghantuinya saat ini. Dia merenungkan kesederhanaan dalam kata-katanya, bagaimana kata-katanya bergema di dalam rongga ambisinya.

“Apakah Anda bisa mengajari saya, Bu?” dia bertanya, kerapuhan dalam suaranya terbungkus dalam ketulusan pencariannya.

"Ya, tentu saja." Anggukannya menjadi mercusuar di tengah kabut ketidakpastian pria itu, tangannya menunjuk ke kursi kosong di sampingnya. “Duduklah, dan mari kita bicara tentang hal-hal yang membuat hidup ini begitu indah.”

Ketika dia bergeser di kursinya, semakin dekat ke orbit ketenangannya, Aditya merasakan sesuatu di dalam dirinya terlepas, suatu rasa sesak yang tidak dia sadari telah dia pegang. Dengan setiap kata yang terucap di antara mereka, diwarnai oleh kayanya aroma kacang panggang, dia merasakan awal dari sebuah perjalanan, bukan menuju tujuan besar, tapi ke dalam lanskap jiwa.

Aditya mencondongkan tubuh ke depan, sikunya bertumpu pada meja kayu tua yang terdapat noda melingkar dari cangkir kopi yang tak terhitung jumlahnya. Pencahayaan toko yang lembut menyinari wajah bijak Siti Aisyah dengan hangat, matanya bermandikan ilmu pengetahuan.

"Kehidupan," dia memulai, suaranya melodi lembut di tengah dengungan pelan toko, "sering kali kita mencari kebahagiaan dalam kemegahan, namun lupa bahwa ia sering bersembunyi di lipatan-lipatan kemudahan."

Irama kata-katanya bagaikan tetesan lembut kopi dari mesin espresso, disengaja dan memperkaya. Aditya menyerap setiap suku kata, saat dia melihat jari-jarinya memegang cangkirnya, sebuah wadah porselen, halus namun tahan lama.

“Seperti secangkir kopi ini,” lanjutnya sambil mengangkat cangkirnya sedikit dengan penuh hormat. "Dibutuhkan biji yang baik, air dengan suhu yang tepat, dan tangan yang sabar untuk menghasilkan rasa yang sempurna. Kita sering terburu-buru, tapi adakah kita menikmati prosesnya?"

“Orang bilang, waktu itu emas, Bu,” jawab Aditya sambil memutar-mutar dark brew miliknya, permukaannya mencerminkan perenungannya. "Tetapi saya mulai bertanya-tanya, apakah kita benar-benar memahami nilai dari setiap detik yang berlalu?"

“Nilai,” ulangnya, “tidak selalu diukur dalam perhitungan atau hasil. Terkadang, nilainya ada dalam saat kita memilih untuk duduk, bernapas, dan menjadi saksi bagi dunia di sekitar kita.”

Aditya menyaksikan uap mengepul dari cangkirnya, membentuk pusaran sementara sebelum menghilang ke dalam kehampaan. Hal ini mengingatkannya pada kekhawatirannya sendiri, bagaimana kekhawatiran itu mengaburkan pandangannya, mengaburkan keindahan masa kini.

“Bagaimana kamu melakukannya, Bu?” dia bertanya sambil mencondongkan tubuh lebih dekat, seolah kedekatan bisa memberinya wawasan yang lebih dalam. "Bagaimana Anda selalu tampak begitu tenang di tengah hiruk-pikuk dunia ini?"

“Aditya,” kata Siti Aisyah sambil meletakkan cangkirnya sambil berdenting pelan, “sepanjang hidup saya, saya belajar untuk mendengarkan. Bukan hanya kata-kata yang diucapkan, tetapi juga bisikan angin, nyanyian daun-daun, dan desiran sungai kecil. Mereka semua memiliki cerita."

Tangannya diletakkan di atas meja, urat-uratnya bagaikan jalur yang tergores di peta, masing-masing merupakan bukti perjalanan yang telah dilakukannya. Aditya merasakan rasa hormat menyelimuti dirinya, menyadari bahwa peta di hadapannya menawarkan lebih dari sekadar petunjuk arah—peta itu menjanjikan penemuan.

"Dan apa yang mereka katakan pada Anda, Bu?" Suaranya nyaris berbisik, takut merusak ketenangannya.

"Ah," dia tersenyum, kerutan geli menyentuh matanya, "mereka mengajariku untuk melihat dunia bukan sebagai tempat yang harus ditaklukkan, tapi sebagai sahabat yang menawarkan pelajaran setiap hari."

Aditya membiarkan kata-katanya meresap, masing-masing menemukan tempatnya di dalam dirinya, menetap seperti hujan di tanah yang haus. Kini dia mengerti bahwa pencarian makna tidak selalu ditemukan dalam tindakan besar atau tujuan mulia, namun dapat ditemukan dalam tindakan mendengarkan—dunia, orang lain, dan mungkin yang paling penting, diri sendiri.

Aditya menatap ke dalam cangkir kopi yang ada di antara kedua tangannya, cairan gelap itu mencerminkan badai di dalamnya. Dengan setiap tegukan lembut yang diminum Siti Aisyah, dia mendapati dirinya semakin dekat menuju pengakuan tak terucapkan.

“Bu Aisyah,” dia memulai, suaranya terdengar di antara gumaman kedai kopi, “aku sering merasa seperti tersesat dalam pencarian makna hidup.” Kata-kata itu, yang tadinya dibarikade di balik tulang rusuknya, kini terlepas begitu saja. "Setiap hari, saya berusaha keras menemukan kebahagiaan dalam kesibukan saya yang tak ada habisnya."

Kerutan di sudut mata Siti Aisyah semakin dalam saat mendengarkan, ekspresinya menjadi kanvas pemahaman. Dia mengulurkan tangan ke seberang meja, ujung jarinya menyentuh punggung tangan Aditya sebentar—gerakan yang ringan seperti daun namun menjuntai seperti akar pohon kuno.

“Anak muda,” katanya dengan kebaikan yang menyelimutinya, “kebahagiaan itu seringkali bukan tentang pencarian, tetapi tentang pengakuan dan penerimaan.” Senyumannya adalah sentuhan lembut mentari setelah seharian diguyur hujan. "Cobalah untuk tidak selalu mencari, tetapi biarkan dirimu menemukan. Seperti kopi ini—nikmati seteguk demi seteguk, rasakan panas dan pahitnya, dan biarkan ia mengajarimu tentang kesederhanaan yang memuaskan."

Aditya menyerap kata-katanya, membiarkannya berputar-putar di sekitar kekacauan dalam pikirannya. Dia menyaksikan uap mengepul dari cangkirnya, tanpa tujuan dan bebas, lalu menghela napas. Tatapannya bertemu dengan tatapannya, dan dia melihat danau tenang di matanya beriak dengan emosi yang sama.

"Bagaimana cara Anda melakukan itu, Bu? Bagaimana Anda belajar untuk... menemukan kebahagiaan dalam kemudahan?" Jari-jarinya mengetuk-ngetuk cangkir, ritme hening mengiringi pencariannya akan kejelasan.

“Kamu tahu, Aditya,” jawab Siti Aisyah sambil bersandar di kursinya, suaranya melodi yang menenangkan di tengah alunan musik jazz lembut kedai kopi, “setiap pagi ketika saya bangun, saya berterima kasih atas napas yang bisa saya hirup. Saya mendengar kicau burung dan melihat langit yang terbentang luas, dan aku sadar bahwa aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar."

"Dan itulah kebahagiaan?" Aditya mempertanyakan, nada skeptisnya berubah menjadi rasa ingin tahu.

"Ya, dan juga saat kamu membagikan perasaanmu, seperti sekarang ini," ucapnya mesra. "Berbagi beban itu meringankannya, Aditya. Dan percayalah, dalam setiap momen yang terasa berat, masih ada ruang untuk bersyukur dan gembira."

Di surga beraroma kopi itu, Aditya merasakan perubahan—simpul di dadanya sedikit mengendur. Ia membiarkan dirinya menikmati pelukan hangat kafe itu, beban nyaman dari kehadiran Siti Aisyah di sampingnya, yang mengikatnya pada masa kini. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasakan kemungkinan kegembiraan, bukan di cakrawala yang jauh, melainkan di sini, terjalin dalam kehidupan sehari-hari.

Tatapan Aditya tertuju pada cangkir yang ada di tangannya, uap yang berputar-putar menari di depan matanya seperti gumpalan mimpi halus yang terbentang. Aroma kopi yang kaya, yang dulu hanya menjadi latar lamunan yang berpacu, kini terasa seperti bisikan mesra, menceritakan kisah perjalanannya dari bukit jauh hingga ke meja ini. Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan keharuman memenuhi indranya, setiap nada mengungkap lapisan kerumitan yang belum pernah dia hargai.

“Melihatmu seperti ini,” kata Siti Aisyah sambil terkekeh pelan, “sepertinya kamu sudah mulai memahami.”

"Memahami?" Aditya menggema, kata yang menggantung di antara mereka seperti setetes embun yang hampir jatuh.

“Ya,” lanjutnya, matanya mencerminkan kebijaksanaan yang dalam dan gelap seperti kopi di cangkir mereka, “bahwa keindahan itu ada di mana-mana, dalam setiap tetes kopi, dalam setiap helai daun yang bergerak ditiup angin. Kita hanya perlu meluangkan waktu untuk menikmatinya."

Aditya menyaksikan sehelai daun menari dengan anggun di kaca jendela, terbawa oleh nafas dunia luar. Selama ini, dia menjadi pengejar badai, mencari makna dalam tindakan besar dan pencapaian monumental. Namun sekarang, bersama dengan orang bijak yang lembut ini, pengejaran itu sepertinya tidak diperlukan lagi. Keindahan yang dicarinya bukannya di luar jangkauan; di sinilah, terjalin dengan benang kehidupan yang paling sederhana.

“Terima kasih, Bu Aisyah,” bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar melebihi dentingan sendok yang merdu pada keramik. "Anda telah membantu saya melihat bahwa setiap hari adalah sebuah kanvas yang bisa saya warnai dengan kebahagiaan sederhana."

"Kita semua sedang belajar, Aditya," jawabnya, tangannya terulur untuk beristirahat di atas Aditya, kehangatan melewati sentuhan mereka. “Dan kedamaian, persahabatan kita juga salah satu dari keindahan itu.”

Pada saat itu, Aditya merasakan beban pencariannya akan tujuan sedikit terangkat, digantikan oleh daya apung yang seolah mengangkat semangatnya. Hatinya, yang sudah lama terbiasa dengan gelombang keraguan, kini terombang-ambing dengan lembut di permukaan kedamaian yang baru ditemukan.

"Janji saya kepada Anda," katanya, matanya menatap matanya dengan tekad yang baru ditemukan, "saya akan memelihara dan menghargai persahabatan ini, serta hikmah yang Anda bagikan. Saya akan menjalani hari-hari saya dengan pandangan baru ini, mencari kegembiraan yang tersembunyi dalam kesederhanaannya."

“Dan saya akan selalu di sini, menikmati kopi dan cerita-ceritamu,” jawab Siti Aisyah, senyum hangatnya bagaikan lembutnya cahaya fajar yang menyebar di cakrawala.

Saat mereka duduk di sana, berbagi cerita dan tawa yang menggema lembut di dalam dinding kedai kopi yang nyaman, Aditya tahu bahwa momen-momen ini akan menjadi kenangan berharga yang mendorong perjalanannya ke depan. Di setiap tegukan kopinya, ia merasakan kekayaan hidup—kehidupan yang dipenuhi keindahan kesederhanaan, sebuah kanvas tempat ia melukiskan kegembiraannya.

Suara bel pintu kedai kopi menandakan keluarnya Aditya, suara itu menandai babak kehidupannya yang baru saja terkuak di dalam. Dia melangkah ke jalan yang ramai, udara di luar diwarnai dengan aroma hujan dan energi kota yang tak kenal lelah.

“Terima kasih, Siti Aisyah,” serunya dari balik bahunya, suaranya terdengar lirih hilang di tengah gemerincing cangkir dan obrolan pelan para pengunjung.

"Jaga dirimu, Aditya," jawabnya dari tempat sucinya, kata-katanya melayang ke arahnya seperti sebuah ucapan syukur.

Dia berbalik, sudut mulutnya miring ke atas membentuk senyuman halus yang menyembunyikan rahasia percakapan mereka. Saat dia melewati kerumunan, jalinan pemikirannya diwarnai dengan warna introspeksi yang cerah. Setiap langkahnya selaras dengan tujuan, seolah ritme langkahnya selaras dengan irama jantungnya yang baru ditemukan.

Aditya berhenti di persimpangan jalan, mengamati lampu lalu lintas yang berubah dari merah menjadi hijau—simfoni kekacauan yang teratur. Pikirannya memutar ulang kebenaran sederhana Siti Aisyah, melodi kebijaksanaannya menanamkan kejelasan dalam pikirannya yang sebelumnya kacau. *Kesederhanaan itu indah,* renungnya, gagasan itu mengakar dalam jiwanya.

"Hidup bukan tentang menunggu badai berlalu," bisiknya pada dirinya sendiri, mengingat analoginya, "ini tentang belajar menari di tengah hujan." Tanda pejalan kaki berkedip-kedip, mengantarnya keluar, dan dia melangkah keluar dari tepi jalan dengan anggun seperti seorang penari.

Dengan setiap langkah kakinya, Aditya merasakan belenggu kerumitan yang sempat mengekang kegembiraannya mulai sirna. Kota di sekelilingnya memiliki kehidupannya sendiri, namun ia melewatinya dengan kemudahan yang menghilangkan kegelisahannya sebelumnya. Dia memperhatikan tarian lucu dedaunan yang berputar ke bawah dari pohon kuno, turunnya dedaunan merupakan syair hening atas keanggunan siklus alam.

Dia sampai di sebuah taman, tanaman hijaunya merupakan oase di tengah hamparan beton. Di sana, di sebuah bangku, duduk seorang lelaki tua yang berbagi remah-remah dengan merpati, suara kicauan mereka terdengar lembut dengan latar belakang perkotaan. Aditya mengamati pemandangan itu, tawa kecil keluar darinya. Berapa banyak momen seperti itu yang dia abaikan dalam usahanya mencari keagungan?

“Kadang-kadang, dunia berbicara dengan berbisik-bisik,” katanya kepada siapa pun secara khusus, “dan kita harus belajar untuk mendengarkan.”

Aditya menemukan bangkunya sendiri, jari-jarinya menelusuri butiran kayu, setiap baris menceritakan kisah pertumbuhan dan ketahanan. Dia menyaksikan anak-anak bermain-main, tawa mereka merupakan penyulingan paling murni dari esensi kehidupan. Angin sepoi-sepoi menggerakkan udara, membawa serta janji hari esok—kanvas kosong menunggu sapuan kuas persepsinya.

“Mulai sekarang,” janjinya pelan, pandangannya terangkat ke hamparan langit di atas, “Aku akan mencari seni di setiap momen.”

Saat matahari mulai turun, memancarkan sinar keemasan yang mencium dunia dengan kehangatan sesaat, Aditya bangkit dari bangku cadangan. Dengan hati yang tak lagi terbebani oleh beban pencarian, ia merangkul kesederhanaan yang disinari Siti Aisyah—kesederhanaan yang mendalam sekaligus memerdekakan.

"Terima kasih," gumamnya pada cahaya yang memudar, simbol rasa syukur atas perjalanan selanjutnya. Melangkah ke depan, Aditya Wirawan membawa harapan baru, siap mewarnai hidupnya dengan nuansa halus ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh kesederhanaan.

Bersambung ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun