“Nilai,” ulangnya, “tidak selalu diukur dalam perhitungan atau hasil. Terkadang, nilainya ada dalam saat kita memilih untuk duduk, bernapas, dan menjadi saksi bagi dunia di sekitar kita.”
Aditya menyaksikan uap mengepul dari cangkirnya, membentuk pusaran sementara sebelum menghilang ke dalam kehampaan. Hal ini mengingatkannya pada kekhawatirannya sendiri, bagaimana kekhawatiran itu mengaburkan pandangannya, mengaburkan keindahan masa kini.
“Bagaimana kamu melakukannya, Bu?” dia bertanya sambil mencondongkan tubuh lebih dekat, seolah kedekatan bisa memberinya wawasan yang lebih dalam. "Bagaimana Anda selalu tampak begitu tenang di tengah hiruk-pikuk dunia ini?"
“Aditya,” kata Siti Aisyah sambil meletakkan cangkirnya sambil berdenting pelan, “sepanjang hidup saya, saya belajar untuk mendengarkan. Bukan hanya kata-kata yang diucapkan, tetapi juga bisikan angin, nyanyian daun-daun, dan desiran sungai kecil. Mereka semua memiliki cerita."
Tangannya diletakkan di atas meja, urat-uratnya bagaikan jalur yang tergores di peta, masing-masing merupakan bukti perjalanan yang telah dilakukannya. Aditya merasakan rasa hormat menyelimuti dirinya, menyadari bahwa peta di hadapannya menawarkan lebih dari sekadar petunjuk arah—peta itu menjanjikan penemuan.
"Dan apa yang mereka katakan pada Anda, Bu?" Suaranya nyaris berbisik, takut merusak ketenangannya.
"Ah," dia tersenyum, kerutan geli menyentuh matanya, "mereka mengajariku untuk melihat dunia bukan sebagai tempat yang harus ditaklukkan, tapi sebagai sahabat yang menawarkan pelajaran setiap hari."
Aditya membiarkan kata-katanya meresap, masing-masing menemukan tempatnya di dalam dirinya, menetap seperti hujan di tanah yang haus. Kini dia mengerti bahwa pencarian makna tidak selalu ditemukan dalam tindakan besar atau tujuan mulia, namun dapat ditemukan dalam tindakan mendengarkan—dunia, orang lain, dan mungkin yang paling penting, diri sendiri.
Aditya menatap ke dalam cangkir kopi yang ada di antara kedua tangannya, cairan gelap itu mencerminkan badai di dalamnya. Dengan setiap tegukan lembut yang diminum Siti Aisyah, dia mendapati dirinya semakin dekat menuju pengakuan tak terucapkan.
“Bu Aisyah,” dia memulai, suaranya terdengar di antara gumaman kedai kopi, “aku sering merasa seperti tersesat dalam pencarian makna hidup.” Kata-kata itu, yang tadinya dibarikade di balik tulang rusuknya, kini terlepas begitu saja. "Setiap hari, saya berusaha keras menemukan kebahagiaan dalam kesibukan saya yang tak ada habisnya."
Kerutan di sudut mata Siti Aisyah semakin dalam saat mendengarkan, ekspresinya menjadi kanvas pemahaman. Dia mengulurkan tangan ke seberang meja, ujung jarinya menyentuh punggung tangan Aditya sebentar—gerakan yang ringan seperti daun namun menjuntai seperti akar pohon kuno.