“Dan kapan kita berhenti mencarinya, Bu?” Pertanyaannya bagaikan kerikil yang dijatuhkan ke dalam air tenang kekacauannya, riak-riak mencari jawaban.
“Ketika kita mulai memahami bahwa kebahagiaan terletak pada hal-hal sederhana,” jawabnya, matanya mencerminkan kekuatan tenang seseorang yang telah berjalan melewati badai namun masih menemukan kegembiraan dalam aroma hujan di bumi yang kering.
Aditya menyesap kopi hitamnya, rasa pahit yang menghantuinya saat ini. Dia merenungkan kesederhanaan dalam kata-katanya, bagaimana kata-katanya bergema di dalam rongga ambisinya.
“Apakah Anda bisa mengajari saya, Bu?” dia bertanya, kerapuhan dalam suaranya terbungkus dalam ketulusan pencariannya.
"Ya, tentu saja." Anggukannya menjadi mercusuar di tengah kabut ketidakpastian pria itu, tangannya menunjuk ke kursi kosong di sampingnya. “Duduklah, dan mari kita bicara tentang hal-hal yang membuat hidup ini begitu indah.”
Ketika dia bergeser di kursinya, semakin dekat ke orbit ketenangannya, Aditya merasakan sesuatu di dalam dirinya terlepas, suatu rasa sesak yang tidak dia sadari telah dia pegang. Dengan setiap kata yang terucap di antara mereka, diwarnai oleh kayanya aroma kacang panggang, dia merasakan awal dari sebuah perjalanan, bukan menuju tujuan besar, tapi ke dalam lanskap jiwa.
Aditya mencondongkan tubuh ke depan, sikunya bertumpu pada meja kayu tua yang terdapat noda melingkar dari cangkir kopi yang tak terhitung jumlahnya. Pencahayaan toko yang lembut menyinari wajah bijak Siti Aisyah dengan hangat, matanya bermandikan ilmu pengetahuan.
"Kehidupan," dia memulai, suaranya melodi lembut di tengah dengungan pelan toko, "sering kali kita mencari kebahagiaan dalam kemegahan, namun lupa bahwa ia sering bersembunyi di lipatan-lipatan kemudahan."
Irama kata-katanya bagaikan tetesan lembut kopi dari mesin espresso, disengaja dan memperkaya. Aditya menyerap setiap suku kata, saat dia melihat jari-jarinya memegang cangkirnya, sebuah wadah porselen, halus namun tahan lama.
“Seperti secangkir kopi ini,” lanjutnya sambil mengangkat cangkirnya sedikit dengan penuh hormat. "Dibutuhkan biji yang baik, air dengan suhu yang tepat, dan tangan yang sabar untuk menghasilkan rasa yang sempurna. Kita sering terburu-buru, tapi adakah kita menikmati prosesnya?"
“Orang bilang, waktu itu emas, Bu,” jawab Aditya sambil memutar-mutar dark brew miliknya, permukaannya mencerminkan perenungannya. "Tetapi saya mulai bertanya-tanya, apakah kita benar-benar memahami nilai dari setiap detik yang berlalu?"