Munculnya media sosial diiringi oleh tren yang mengkhawatirkan, yaitu peningkatan narsisme publik dalam beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, di kalangan psikolog dan peneliti, fenomena ini, yang juga disebut sebagai "epidemi narsisme", telah menjadi subjek perhatian. Individu menjadi lebih fokus pada diri sendiri dan terobsesi dengan citra diri mereka sebagai akibat dari kebutuhan terus menerus akan validasi dan perhatian.Â
Tidak mengherankan bahwa media sosial, yang memiliki profil yang sangat diawasi dan banyak kesempatan untuk mempromosikan diri, telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan narsisme ini.Â
Tulisan ini akan membahas bagaimana media sosial memengaruhi narsisme dan bagaimana hal itu membentuk masyarakat kita saat ini.
Memahami Narsisme di Era Digital
Bayangkan narsisme sebagai sifat kepribadian yang didominasi oleh rasa mementingkan diri sendiri yang terlalu besar, haus akan pujian, dan kurangnya empati terhadap orang lain.Â
Ini bukan hanya sifat; itu adalah kondisi yang dapat menyebabkan perilaku buruk dan citra negatif di masyarakat. Sekarang, bayangkan dunia media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya.Â
Tanpa disadari, platform yang dimaksudkan untuk berbagi dan berinteraksi telah menjadi tempat berkembangnya sifat narsistik. Kenapa begitu? Salah satu ciri khas zaman digital ini adalah jawabannya.
Dalam dunia modern, promosi diri adalah norma dan keinginan untuk perhatian tidak bisa dipungkiri. Selain itu, siapa yang dibesarkan dalam kondisi seperti ini? Ya, Anda menyadarinya, orang yang narsistik.Â
Alat dan mekanisme yang ada di era digital memungkinkan kita untuk berinteraksi dan berbagi, tetapi kita tidak menyadari bahwa perilaku egosentris berkembang dan berkembang.Â
Platform media sosial memperkuat kecenderungan narsistik individu-individu ini dengan memberi mereka ruang untuk menciptakan potret diri yang luar biasa dan menyebarkannya kepada masyarakat luas.
Memberikan mikrofon kepada seorang diva di atas panggung adalah impian mereka yang akhirnya terwujud. Semua suka, komentar, atau berbagi menjadi tepuk tangan yang membangkitkan ego mereka dan mendorong mereka untuk tetap diperhatikan.Â
Aturan tak tertulis "lihatlah saya, lihatlah apa yang sedang saya lakukan" di era digital secara langsung mendukung individu yang memiliki kecenderungan narsistik, memungkinkan mereka untuk berkembang tanpa hambatan.Â
Kita baru saja mulai memahami efeknya, karena ini merupakan permainan yang kompleks antara masyarakat, teknologi, dan psikologi.
Pencitraan Diri di Media Sosial
Kita memiliki kemampuan untuk mengubah citra publik kita di media sosial. Ketika pengguna mulai bergantung pada citra virtual mereka, ini menjadi mudah, menyebabkan siklus tak berujung dari promosi diri.Â
Dalam dunia media sosial, penerimaan sosial diukur dengan jumlah likes, komentar, dan bagikan yang Anda peroleh. Bagi individu yang bersifat narsistik, metrik-metrik ini adalah pernyataan yang didorong oleh dopamine, yang meningkatkan rasa percaya diri mereka terhadap diri mereka sendiri.Â
Mereka mempersiapkan keberadaan online mereka dengan cermat, menampilkan "diri terbaik" mereka untuk menarik perhatian dan tepuk tangan sambil mempertahankan tingkat ego mereka. Mereka dapat menarik banyak perhatian karena fokus di media sosial menjadi alat yang kuat dalam diri mereka.
Bahayanya tidak terletak pada pencitraan diri; sebaliknya, kebutuhan terus-menerus akan promosi dan gambaran diri yang tidak realistis yang dimanipulasi untuk menyenagkan publik.
Bagaimana Media Sosial Memfasilitasi Perilaku untuk Mencari Perhatian
Mereka yang narsistik memiliki keinginan alami untuk mendapatkan perhatian orang lain. Selain itu, platform apa yang dapat diandalkan untuk melakukannya selain platform media sosial?Â
Setiap postingan atau pembaruan status adalah kesempatan bagus untuk mendapatkan like, komentar, atau kagum.Â
Mereka membuat setiap perubahan dengan hati-hati, seperti seorang seniman yang dengan cermat membuat mahakaryanya, hanya untuk memastikan bahwa itu menarik perhatian dan mendapatkan pujian yang mereka cari.
Bayangkan perasaan yang mereka alami saat menerima like, komentar, atau pembagian. Ini mirip dengan seorang penyanyi yang mendapat tepuk tangan setelah penampilan yang luar biasa atau seorang penulis yang mendapat pujian untuk tulisannya.Â
Kesuksesan media sosial meningkatkan kebutuhan mereka akan perhatian dan menghasilkan siklus kepuasan yang mendorong lebih banyak perilaku serupa.
Namun, inilah yang menarik---lingkaran umpan balik ini berkembang menjadi lingkaran yang lebih besar. Setiap kali mereka menerima lebih banyak perhatian, semakin banyak yang mereka inginkan, semakin banyak yang mereka tampilkan, dan siklusnya berulang, tumbuh seperti bola salju.Â
Tidak hanya ada, dinamika penguatan ini memberikan platform yang dirancang khusus untuk perilaku pencarian perhatian. Oleh karena itu, tarian narsis digital untuk perhatian terus berlangsung selama masyarakat terus menyukai, membagikan, dan memberikan komentar.
Pengaruh Media Sosial terhadap Tingkat Empati
Komponen empati, keterampilan emosional kritis yang seringkali kurang pada orang yang menunjukkan kecenderungan narsistik, penting untuk diperhatikan saat mengkaji narsisme.Â
Sekarang kita berada di dunia media sosial, tempat interaksi seringkali kehilangan kualitas emosional yang membedakan interaksi tatap muka. Lingkungan ini dapat memperburuk defisit empati yang umum pada orang narsistik.
Kita kehilangan petunjuk emosional halus yang biasanya kita tangkap dalam percakapan tatap muka ketika kita berinteraksi melalui layar, emoji, dan keterangan yang dirancang dengan hati-hati.Â
Dalam komunikasi digital, seringkali tidak ada petunjuk penting untuk empati, seperti perubahan dalam bahasa tubuh, lembut atau kerasnya pandangan seseorang, atau nuansa nada.Â
Kurangnya kedalaman emosional ini dapat memperkuat kemampuan narsis untuk berempati dan memperkuat perspektif yang terfokus pada diri sendiri.
Selain itu, fokus media sosial pada promosi diri dapat menyebabkan budaya di mana setiap orang berusaha mendapatkan perhatian, meninggalkan sedikit ruang untuk memahami atau menghargai pengalaman orang lain.Â
Individu narsistik mungkin berkonsentrasi pada perasaan dan kebutuhan mereka sendiri sementara mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain.
Pada dasarnya, sifat interaksi digital yang dangkal mungkin tanpa disadari memperkuat defisit empati yang dicirikan narsisme, menambah kompleksitas tambahan pada masalah yang bersifat multiaspek ini. Sangat penting untuk mempelajari dan memahami konsekuensi tak terduga dari era teknologi kita.
Apakah Media Sosial Bertanggung Jawab atas Peningkatan Narsisme?
Meskipun menunjuk media sosial sebagai satu-satunya penyebab narsisme yang meningkat mungkin merupakan cerita yang menarik, itu agak terlalu sederhana.Â
Sebabnya, kecenderungan narsistik sudah ada dalam masyarakat jauh sebelum munculnya Facebook, Twitter, atau Instagram.Â
Media sosial mungkin bukan tempat kelahiran narsisme, tetapi tidak dapat disangkal bahwa media sosial adalah tempat yang sempurna bagi narsistik untuk memperkenalkan diri mereka kepada khalayak yang lebih luas.Â
Dengan mekanisme pencarian perhatian dan promosi diri, platform ini dapat meningkatkan perilaku narsistik dan membuatnya lebih terlihat. Media sosial berfungsi sebagai pengeras suara daripada menciptakan narsis, mempromosikan sifat-sifat ini kepada publik yang lebih luas.Â
Penting untuk diingat bahwa sorotan bukanlah alasan seorang diva membutuhkan perhatian; itu hanya membuat penampilannya terlihat lebih baik.Â
Dengan cara yang sama, meskipun media sosial tidak berasal dari keinginan egois, mereka mampu meningkatkan jumlah orang yang menggunakannya.
Mengurangi Dampak Media Sosial pada Narsisme
Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan kita dan memberikan banyak nilai dan koneksi; namun, kita harus belajar menggunakannya dengan lebih sadar dan sehat untuk mencegah memperburuk kecenderungan narsistik. Bagaimana prosesnya? Itu dimulai dengan membuat batasan.
Untuk memulai, adalah ide yang baik untuk membatasi penggunaan media sosial dan rutin melakukan detoks digital.Â
Periode ini, tanpa gangguan terus-menerus tentang pemberitahuan, suka, dan komentar, memberikan keseimbangan yang sehat dan memungkinkan kita untuk terhubung kembali dengan dunia nyata.
Namun, langkah-langkah ini belum cukup. Kita perlu belajar tentang bagaimana media sosial dapat merusak keyakinan dan persepsi kita tentang diri kita sendiri.Â
Kita perlu mendidik diri kita sendiri dan orang lain tentang bahaya yang mungkin terjadi. Menerima kenyataan bahwa kita tidak dinilai berdasarkan jumlah suka, bagikan, atau komentar yang kita terima dapat membantu menghentikan kecenderungan narsistik.
Dengan cara yang sama, memahami bahwa konten yang kita lihat di media sosial seringkali terdiri dari serangkaian perhatian yang dipilih dengan cermat, bukan pantulan dari kenyataan, dapat membantu kita mempertahankan perspektif kita dan menghindari terjebak dalam pengejaran tanpa henti untuk validasi.
Pada intinya, kunci untuk mengurangi dampak media sosial pada narsisme terletak pada mempromosikan penggunaan dengan penuh perhatian dan pemahaman kritis terhadap potensi dampak platform tersebut. Ini tentang menjelajahi dunia digital dengan perspektif yang terinformasi dan penuh skeptisisme yang sehat.Â
Dengan melakukan hal itu, kita dapat memanfaatkan aspek positif media sosial tanpa terjerumus dalam daya tarik perilaku narsistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H