Kurangnya kedalaman emosional ini dapat memperkuat kemampuan narsis untuk berempati dan memperkuat perspektif yang terfokus pada diri sendiri.
Selain itu, fokus media sosial pada promosi diri dapat menyebabkan budaya di mana setiap orang berusaha mendapatkan perhatian, meninggalkan sedikit ruang untuk memahami atau menghargai pengalaman orang lain.Â
Individu narsistik mungkin berkonsentrasi pada perasaan dan kebutuhan mereka sendiri sementara mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain.
Pada dasarnya, sifat interaksi digital yang dangkal mungkin tanpa disadari memperkuat defisit empati yang dicirikan narsisme, menambah kompleksitas tambahan pada masalah yang bersifat multiaspek ini. Sangat penting untuk mempelajari dan memahami konsekuensi tak terduga dari era teknologi kita.
Apakah Media Sosial Bertanggung Jawab atas Peningkatan Narsisme?
Meskipun menunjuk media sosial sebagai satu-satunya penyebab narsisme yang meningkat mungkin merupakan cerita yang menarik, itu agak terlalu sederhana.Â
Sebabnya, kecenderungan narsistik sudah ada dalam masyarakat jauh sebelum munculnya Facebook, Twitter, atau Instagram.Â
Media sosial mungkin bukan tempat kelahiran narsisme, tetapi tidak dapat disangkal bahwa media sosial adalah tempat yang sempurna bagi narsistik untuk memperkenalkan diri mereka kepada khalayak yang lebih luas.Â
Dengan mekanisme pencarian perhatian dan promosi diri, platform ini dapat meningkatkan perilaku narsistik dan membuatnya lebih terlihat. Media sosial berfungsi sebagai pengeras suara daripada menciptakan narsis, mempromosikan sifat-sifat ini kepada publik yang lebih luas.Â
Penting untuk diingat bahwa sorotan bukanlah alasan seorang diva membutuhkan perhatian; itu hanya membuat penampilannya terlihat lebih baik.Â
Dengan cara yang sama, meskipun media sosial tidak berasal dari keinginan egois, mereka mampu meningkatkan jumlah orang yang menggunakannya.