Bukan demi jabatan-jabatan empuk di berbagai sektor pemerintahan yang kala itu sangat bisa mereka dapatkan jika saja bersedia berkompromi dengan penjajah saat itu. Tidak pula bagi misi kesejahteraan eksklusif primodialisme kalangan partai mereka semata.
Melongok ke masa kini,
ketika citra dan performa parpol masa kini masih saja tampak buram di mata rakyat, maka pada akhirnya bujukan-bujukan rutin 5 tahunan parpol tak ubahnya ibarat ajakan membangun istana pasir di tengah badai topan belaka.
Muaranya, sikap Golput memang bukanlah sikap frustasi kebuntuan atau melalaikan partisipasi pesta politik 5 tahunan,
melainkan konsekwensi logis dari rentetan panjang kekecewaan, melahirkan kritisme masyarakat dalam situasi dan kondisi yang semakin lama dipecundangi kian dewasa dan mawas dengan sendirinya.
Lalu kemana gerangan bangsa ini akan dibawa jika di alam Demokrasi tanah air kita lagi-lagi hanya didominasi oleh misi-misi eksklusif para parpol dan ambisi sepihak politisi-politisi semata?
Sebagai catatan,
Pemilu di negara kita telah berlangsung 12 kali dalam rentang selama 68 tahun yakni pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Dan kita sebagai masyarakat yang melek konstitusi juga paham bahwa secara de facto eksistensi parpol di negara ini terbilang ekstra signifikan, selain melalui parlemen turut serta juga melalui kader-kader yang bertengger di hampir seluruh lini institusi negara kita.
Tak terpungkiri, mulai dari senator-senator parlemen pusat/daerah, kepala-kepala daerah, pembuatan undang-undang negara, Anggaran Negara, pembangunan-pembangunan di berbagai daerah, hingga di level tertinggi yakni kepala negara semuanya merupakan domain mutlak partai politik.
Maka kembali mari kita pertanyakan lagi, mari kita review ulang kembali secara jujur dan konsekwen: