Satu jam sudah Aria duduk di bangku taman bercat putih itu. Sembari memandang langit, seperti menerawang seberapa jauh jarak langit itu dengan dirinya, atau mencoba menghitung bintang-bintang yang berserakan.
Mata gadis itu terlihat berbinar. Senyumnya sama sekali tidak surut sejak tadi.Â
Ia selalu membayangkan bisa membuat malam lebih panjang dari biasanya, agar ia tidak perlu bersusah payah menjalin kain-kain untuknya turun dari balkon kamarnya guna pergi ke sebuah taman dekat rumahnya yang sepi.Â
Sembari menghirup napas, ia merasakan angin malam menelusuri kulitnya yang perlahan meremang. Menikmati kesunyian dan kelembapan udara yang keluar masuk hidungnya.
"Kamu menyukainya?"
Pemuda yang duduk di sampingnya sejak tadi kemudian bertanya.
"Tepat seperti kamu juga menyukai kegelapan, Dewa."
***
Mereka sangat menyukai keberadaan satu sama lain. Â Terlihat dari cara Aria memandang pemuda di sebelahnya dan Dewa (nama pemudai itu) yang beberapa kali membenarkan helai rambut Aria, menyelipkannya di daun telinga gadis itu. Kemudian tangannya turun menggenggam jemari Aria, memberikan kehangatan kecil yang tanpa sadar menjalar ke seluruh badan , bahkan membuat hati gadis itu menghangat.
3 tahun yang lalu, Ayah dan Ibu Aria mengajaknya pindah di rumah yang sekarang ia tempati. Membuatnya harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, sekolah baru, dan juga pasti teman-teman yang baru. Ia menyadari bahwa adaptasi adalah salah satu hal tersulit dalam hidupnya yang memerlukan usaha lebih. Sebab ia merupakan gadis yang lebih menyukai kesendirian. Keramaian dari suara yang ditimbulkan teman-temannya membuat kepalanya pusing.Â
Tapi semuanya berubah di suatu pagi ketika dirinya hendak keluar membersihkan halaman. Â Dilihatnya seorang pemuda seumurannya terduduk di seberang jalan, lututnya terluka dan di sampingnya terdapat sepeda kayuh yang rantainya lepas. Aria sedikit gusar saat ingin mendekatinya. Tapi nuraninya untuk menolong mendorongnya berjalan pelan ke arah pemuda itu tanpa sadar.