Mohon tunggu...
Erianto In Learning
Erianto In Learning Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dokter Ayu Cs vs Artidjo Alkostar

28 November 2013   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakim Agung Artidjo Alqostar yang katanya alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, membuat keputusan yang sangat menusuk jantung sebagian dokter di Tanah Air. Kasus ini bermula dari peristiwa panjang yang terjadi di Propinsi Manado. Dokter yang bertugas di wilayah Manado itu bernama, Dewa Ayu Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendi Siagian, (Dr Ayu Cs) yang membidangi tentang kelahiran atau umum disebut dokter kandungan. Awalnya Dr Ayu mendapatkan pasien yang ingin melahirkan, pasien terlihat lemah dan pihak rumah sakit segera memberikan perawatan dan tempat untuk pasien itu. Belakangan diketahui bahwa pasien itu bernama, Julia Fransiska Makatey (25th).

Setelah pasien mendapatkan perawatan pertama, dokter ahli yang menangani tidak kunjung memeriksa, sehingga keadaan pun semakin memburuk. Dengan keadaan yang terkesan dibiarkan itu, lalu pihak keluarga menggadaikan beberapa perhiasan untuk biaya perawatan dan pengobatan. Karna ada opini publik" jika tidak ada uang datanglah ke dukun bayi kampung jangan pergi kerumah sakit" mungkin berangkat dari opini publik itu, pihak keluarga lantas menggadaikan seperangkat perhiasan yang dimilikinya.

Pembiaran itu masih berlanjut, sehingga kegelisahan pihak keluarga pun semakin memuncak, lalu terjadi kontraksi akibat dari pembiaran itu, kemudian kepanikan pun melanda dokter-dokter yang menangani. Kepanikan itu berujung pada tindakan yang sepihak, maksudnya ialah dokter Ayu dan rekan mengambil langkah cepat dengan mengoperasi pasien (seksio cesaria), yang kondisinya makin parah itu tanpa adanya perundingan dan pertimbangan dengan pihak keluarga.

Berita terahir menjelaskan bahwa pasien mengalami "Emboli Udara" atau ada gelembung udara yang sering muncul pada jantung pasien sehingga keadaan pasien semakin buruk, karna sistem pernafasan pasien menjadi terganggu faktor inilah yang membuat pasien tak tertolong lagi.

Pasien Pun Meninggal

Setelah peristiwa panjang itu pasien Julia Fransiska Makatey, yang tergolong masih muda yaitu 25 tahun meniggal dunia. Pihak keluarga yang merasa ada sesuatu yang ganjil selama penanganan kasus tersebut melakukan penuntutan di Pengadilan Negeri Manado. Dalam sistem hukum Indonesia, tindakan yang dilakukan oleh pihak keluarga sudah tepat, karna masalah ini sepertinya mengindikasikan adanya pelanggaran hukum.

Mungkin pihak keluarga agak mengerti tentang hukum, sehingga mereka memberanikan diri untuk melakukan penuntututan terhadap Dr Ayu Cs yang memeriksa keluarganya yang berujung kematian itu. Jika motif dari penuntutan ini hanya dilatar belakangi oleh kekecewaan hilangnya nyawa maka ini tindakan yang keliru karna kematian itu bukanlah termasuk dalam unsur hukum dan kematian adalah sebuah keniscahyaan, namun jika latar belakang penuntutan itu terkait erat dengan tindakan yang berindikasi pada pelanggaran hukum, maka patut diacungkan jempol bagi pihak keluarga korban karna telah membantu menegakkan hukum di Ibu Pertiwi ini.

Ternyata benar, apa yang mendasari tuntutan keluarga korban bukan lah hilangnya nyawa semata, namun tuntutan itu adalah terkait dengan tindakan Dr Ayu Cs yang terkesan membiarkan pasien menderita terlalu lama, sehingga mengakibatkan kondisi pasien semakin memburuk, ketika diketahui bahwa keadaan pasien kritis Dr Ayu dan rekan pun mengambil tindakan cepat tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga akan akibat dari tindakan "seksio cesaria" dan tanpa adanya surat kesepakatan antara Dr Ayu Cs dan keluarga korban.

Keadaan tersebut kontras dengan kebiasaan umum yang terjadi dibanyak rumah sakit, biasanya untuk melakukan operasi pihak dokter dan keluarga selalu berunding terlebih dahulu dan pada ahirnya akan muncul surat kesepakatan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Namun, hal ini tidak terjadi pada kasus yang menimpa Dr Ayu Cs.

Perjalanan Hukum Dr Ayu Cs

Kasus yang menimpa Dr Ayu Cs termasuk perkara yang langka, biasanya televisi nasional hanya membicarakan isu sekitar politik, korupsi para politikus partai, kini bergeser pada gelora kasus Dr Ayu dan rekan.

Kejadian ini patut untuk diperhatikan karna mungkin selama ini banyak kasus yang lebih besar dari sekedar Dr Ayu yang terselip dalam lorong-lorong sudut kota di belahan Bumi Nusantara.

Perhelatan akbar di Pengadilan Negeri Manado mengumumkan bahwa Dr Ayu Cs adalah sang pemenagnya. Pihak keluarga kalah telak dalam level ini dan tak bisa berbuat apa-apa, keadaan ini persis seperti saat Klub Bola Barcelona dikalahkan oleh Real Madrid dengan skor 1-3 pada awal tahun lalu. Saat itu punggawa Barcelona sangat menderita bahkan konon ada korban jiwa dari salah satu fans kedua klub besar tersebut, akibat kekalahan itu.

Lupakan bola, kasus Dr Ayu Cs menang pada Pengadilan Negeri Manado, namun Jaksa Penuntut Umum rupanya kurang puas dengan keputusan hakim Manado dan tindakan kasasi pun ditempuhnya, seolah dia tau bahwa kasasinya akan menang, bukan karna suap tapi JPU yakin bahwa telah terjadi ketidak stabilan hukum dalam proses penanganan kasus ini.

Kasasi pun dimasukkan ke Mahkamah Agung dan pihak MA menyambut baik upaya JPU, ini terjadi pada Tahun 2011, cukup lama mandek di MA. Apa yang menyebabkan kasus ini berjalan cukup lama belum diketahui penyebabnya, mungkin disini terjadi konstalasi politik atau uji coba intervensi dari pihak luar terkait dengan kasus Dr Ayu.

Beberapa hari yang lalu Hakim Agung Artidja Al-kostar muncul sebagai pribadi yang fenomenal, kenapa fenomenal? Karna keputusanya membuat heboh instansi rumah sakit di Indonesia dan dianggap mengusik profesi dokter di Indonesia.

Berkata Artidja; bahwa Dr Ayu dan rekan telah melakukan kealpaan prosedur selama menangani pasien, yang seharusnya hal itu tidak boleh terjadi karna dokter memiliki ethic selama menjalankan tugasnya. Hal ini sama saja dengan profesi etik lainya yang melekat pada para praktisi hukum, hanya saja lingkupnya yang berbeda.

Lebih jauh Artidjo menegaskan bahwa Dr Ayu Cs jelas bersalah karna telah mengabaikan prosedur sebagai dokter " seharusnya dokter Ayu Cs meminta kesepakatan dengan pihak keluarga" dalam proses operasi pasien, namun hal itu diabaikanya. Hal ini lah yang membuat hakim agung Artidja memutuskan hukuman 10 bulan kepada Dr Ayu dan rekan.

Seiring dengan dikeluarkanya keputusan MA yang menghukum tindakan Dr Ayu Cs, para dokter pun ramai turun ke jalan mengutuk keputusan MA itu, bahkan belakangan muncul isu adanya kriminalisasi dokter "Stop Kriminalisasi Dokter" yang digaungkan oleh ikatan dokter Indonesia. Padahal kriminalisasi itu kasus yang berbeda, kriminalisasi adalah bukan peristiwa hukum namun dianggap sebagai peristiwa hukum, sedangkan kasus Dr Ayu Cs cukup jelas perjalanan atau proses hukumnya, jelas ini jauh berbeda dengan kriminalisasi.

Para dokter menolak putusan MA dan mengatakan bahwa pemeriksaan kasus Dr Ayu tidak sah karna tidak melibatkan tim ahli medis, padahal kalau ditelusuri keputusan MA itu memang tidak membutuhkan ahli medis dan hakim Artidja sadar bahwa medis bukan lah bidangnya. Namun disini MA hanya memutuskan terkait dengan perkara yang diluar medis, yaitu pengabaian prosedur dokter, dimana setiap dokter yang ingin melakukan operasi wajib melakukan perundingan dengan pihak keluarga dan harus ada kesepakatan hitam di atas putih.

Ketika Menteri kesehatan dimintai komentarnya terkait isu ini pun merasa bingung, kata Menkes; Kami bingung, dalam Putusan PN (Pengadilan Negeri) bebas murni, tapi menurut putusan MA (Mahkamah Agung) bersalah dan masuk penjara," kata menkes saat temu media, Liputan6, Rabu, 27/11/2013.

Keprihatinan bukan hanya datang dari Menkes, tapi juga muncul dari sosok politikus Prabowo Subianto yang mengatakan; Kita bisa rasakan para dokter itu merasa terusik, terancam bahwa mereka setiap hari harus mengambil keputusan. Pasiennya bisa saja mati," Prabowo pun mengimbau kepada penegak hukum untuk arif bertindak. Menurutnya, jika ada malpraktek Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan berperan mengambil tindakan. Tribunnews.com, Rabu 27/11/2013.

Sebegai warga negara, perlu kita bertanya, kapan dan untuk siapa sebenarnya keprihatinan itu diberikan? Jika melihat semua kasus hukum sedikit banyak ada keprihatinan, itu pasti. Namun, biar tepat menempatkan dan sesuai dengan undang-undang, prihatin itu harus bersesuaian dengan landasan hukum. Bukankah negara ini berdasarkan hukum? Kenapa terkadang berat hati ini untuk menjunjung tinggi hukum? Mari periksa kembali semangat dan tujuan nasionalisme masing-masing, agar keprihatinan itu tepat sasara. Semoga kedepan Indonesia semakin maju dan hukum tetap menjadi pondasi dalam meraih kemajuan Bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun