Mohon tunggu...
Eri Triwulandari
Eri Triwulandari Mohon Tunggu... Lainnya - bekerja di dunia bahasa

Ketika ada sesuatu yang terus berkeliaran dalam benak saya, saya bisa melepaskannya dalam tulisan. Hanya satu yang harus saya lawan: rasa malas. :))

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Para Juara

3 September 2020   18:20 Diperbarui: 6 September 2020   20:43 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa adalah medium. Hampir dalam setiap aspek di dalam kehidupan, kita memerlukannya sebagai medium. Bagi beberapa profesi, medium itu digunakan secara dinamis. Artinya, profesi tertentu dituntut untuk dapat berkomunikasi dalam beberapa bahasa (poliglot). Dalam KBBI poliglot didefinisikan sebagai (1) dapat mengetahui, menggunakan, dan menulis dalam banyak bahasa; dan (2) orang yang pandai dalam berbagai bahasa.

Salah satu profesi yang memerlukan kemampuan berkomunikasi dengan lebih dari satu bahasa ialah atlet (internasional). Atlet menjadi perhatian saya karena pertandingan dan perlombaan dalam dunia olahraga menarik untuk ditonton dan diikuti bagi saya dan juga bagi jutaan orang lainnya di dunia ini. 

Bagi saya, yang menarik tidak hanya pertandingan di arena, tetapi juga wawancara atlet dan pelatih, baik sebelum dan sesudah pertandingan maupun di luar itu. Selain itu, yang tak kalah menarik adalah segala rupa artikel tentang atlet dan pertandingan. Dari berbagai artikel itu saya dapat mengetahui hal-hal baru, eksklusif, unik, atau inspiratif, termasuk mengenai kemampuan berbahasa mereka.

Nah, karena sering mendengarkan wawancara para atlet pada saat pratanding/pralomba atau pascatanding/pascalomba dalam siaran langsung pertandingan/perlombaan di televisi, melalui Youtube, dan tautan video di Twitter serta mengikuti segala rupa berita tentang mereka, saya mulai mengamati kemampuan berbahasa para atlet itu. 

Tidak semua atlet saya amati, hanya atlet favorit saya dan atlet-atlet papan atas. Atlet favorit, atau jagoan saya, pasti saya cari-cari berita, artikel, dan video-video wawancaranya. Sementara itu, berita, artikel, dan video para atlet papan atas sering direkomendasikan di kanal Youtube saya dan berseliweran pula di akun-akun terkait olahraga yang saya ikuti di Twitter.

Atlet yang "dituntut" untuk menjadi poliglot atau setidaknya menjadi dwibahasawan ialah, tentu saja, seorang juara yang kiprahnya mendunia. Saat menjadi juara dan prestasinya mendunia, seorang atlet harus siap menghadapi wawancara dalam bahasa internasional, yaitu bahasa Inggris. 

Namun, dalam cabang olahraga tertentu, ternyata di antara para juara itu pun ada yang secara "sukarela" belajar bahasa resmi internasional lainnya, seperti bahasa Prancis dan Spanyol, atau bahasa lain yang bukan bahasa resmi internasional, seperti bahasa Italia dan Jerman. Hal itu berkaitan dengan pelatih  sang atlet yang berbeda kebangsaannya, negara penyelenggara turnamen, atau tim/perusahaan tempat sang juara itu bernaung.

Juara yang dimaksud di sini ialah pemenang pertandingan dalam satu, beberapa, atau banyak turnamen/pertandingan dalam satu musim kompetisi. Musim kompetisi di NBA, termasuk babak playoff dan final, berlangsung dari bulan Oktober hingga Juni setiap tahun. Tur ATP (Association of Tennis Professionals), termasuk turnamen grand slam, dimulai dari bulan Januari hingga bulan November. MotoGP diselenggarakan dari bulan Maret hingga November. Sementara itu, seri Formula 1 dimulai bulan Maret hingga bulan Desember. Padat kan jadwal menonton saya? Haha. 

Nah, juara di NBA berarti para pemain/tim yang pernah meraih cincin dan trofi Larry O'Brien di akhir kompetisi atau pemain yang kemampuan individunya luar biasa tetapi tidak beruntung untuk meraih juara NBA; juara di tenis profesional berarti petenis yang pernah menjuarai turnamen dalam tur ATP, terutama turnamen grand slam; juara di MotoGP dan Formula 1 berarti pebalap yang pernah naik podium dalam rangkaian seri grand prix sepanjang tahun.

Juara yang saya gandrungi--tampaknya juga banyak juara di berbagai cabang olahraga--berasal dari negara yang tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Di cabang olahraga tenis, saya adalah seorang Rafan, penggemar dan pendukung Rafael Nadal Parera, petenis Spanyol yang saat ini merupakan petenis nomor dua di pemeringkatan ATP. Rafael Nadal justru dikenal sebagai atlet yang kesulitan berbahasa Inggris pada masa-masa awal kariernya di dunia tenis profesional. 

Bahkan, hingga sekarang pun wartawan dan penggemar tenis (apalagi warganet) masih sering "mengolok" pelafalan bahasa Inggrisnya yang sering kali terdengar lucu. Lalu, mengapa saya mulai dari Rafa? Karena dari bahasa Rafa itulah saya mulai mengamati bahasa atlet lain.

Rafael Nadal memulai karier profesionalnya pada tahun 2001 saat masih berusia 15 tahun dan pada tahun 2005 ketika berusia 19 tahun, ia memenangi grand slam pertamanya di turnamen Prancis Terbuka. Kemenangan itu mengawali seabrek kemenangan lainnya. Hingga kini pada usianya yang ke-33 ia telah mengantongi 84 gelar juara, termasuk 19 gelar grand slam. 

Kalau menelusuri jejak wawancara Rafael Nadal pada masa awal ia menjadi seorang juara, Anda akan menemukan saat-saat ia hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Bahkan, ada momen ketika Rafa dengan lugu terkaget sendiri karena menyadari dirinya dapat mengungkapkan jawaban kepada wartawan dalam rangkaian kata pendek dalam bahasa Inggris. 

Dalam sebuah tanya jawab dengan penggemarnya, Rafa mengakui bahwa perjalanannya untuk belajar berbahasa Inggris sejak berusia 15 tahun merupakan proses yang lamban. Hingga kini kemampuannya berbahasa Inggris sudah makin baik walaupun ia tetap kesulitan ketika harus berbicara mengenai hal di luar tenis. Bahasa Inggris terucap dengan logat Spanyol yang kental. Itulah bahasa Rafa.

Saya kemudian menyimak wawancara-wawancara Roger Federer, rival utama Rafael Nadal. Roger berkebangsaan Swiss. Di Swiss digunakan empat bahasa resmi, yaitu bahasa Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh. Dengan lingkungan bahasa seperti itu, Roger beruntung dapat memiliki repertoir linguistik yang kaya. Selain itu, karena ibunya berasal dari Afrika Selatan, ia pun dapat berbahasa Inggris. Menurutnya, bahasa pertamanya adalah bahasa Jerman-Swiss (bahasa Jerman yang diajarkan di sekolah di Swiss adalah bahasa Jerman standar, bukan Jerman-Swiss), bahasa keduanya bahasa Inggris, lalu bahasa lainnya, yaitu bahasa Prancis dan Italia. 

Nah, entah karena pengaruh kekayaan repertoir linguistiknya atau bukan, Roger Federer ini selalu tertarik untuk belajar bahasa. Dalam sebuah wawancara, Roger mengatakan bahwa ia sedang belajar bahasa Swedia. Ini berkaitan dengan dua orang berkebangsaan Swedia yang pernah menjadi pelatihnya dalam periode yang berbeda (Peter Lundgren dan Stefan Edberg). 

Menurutnya pula, ia mulai belajar bahasa Mandarin. Itu dapat berkaitan dengan beberapa turnamen tenis yang diselenggarakan di Tiongkok. Jadi, selain punya repertoir linguistik yang kaya, Roger Federer juga seorang pemelajar bahasa yang antusias. Ia poliglot alami yang terus memperkaya repertoirnya.

Kalau sudah menyinggung dua dari the big three dalam dunia tenis, tidak bisa tidak, saya pun melirik yang ketiga, Novak Djokovic. Ia orang Serbia. Selain berbahasa Serbia, tidak jauh berbeda dengan Roger Federer, Novak Djokovic juga dapat meladeni wawancara dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman. Kemampuannya untuk berbahasa Italia dapat terasah karena ia pernah dilatih oleh Riccardo Piatti dari Italia. Ia juga pernah dilatih oleh Boris Becker yang berkebangsaan Jerman. Selain itu, ia dapat pula berbahasa Spanyol. Tampaknya ia juga penasaran untuk belajar bahasa Mandarin. Djokovic pun antusias belajar bahasa. Menurutnya, dalam kebudayaan Serbia terdapat peribahasa yang berbunyi "makin banyak bahasa yang dikuasai oleh seseorang, makin mulialah ia sebagai manusia".

Kasus Roger Federer dan Novak Djokovic menunjukkan bahwa sosok pelatih yang berganti-ganti dan berbeda kebangsaan menjadi salah satu faktor yang membentuk atau memperluas "wilayah kekuasaan" mereka sebagai seorang poliglot. Namun, itu tidak berlaku bagi Rafael Nadal. 

Sejak memulai kariernya, ia tetap dilatih oleh orang yang sama, yaitu Toni Nadal, pamannya, dan Francisco Roig. Keduanya orang Spanyol. Belakangan Rafa juga menambahkan Carlos Moya, mantan petenis nomor satu dunia, yang juga berasal dari Spanyol ke dalam tim pelatih pribadinya. Jadi, memang "tidak ada alasan" bagi Rafael Nadal untuk bekerja keras belajar bahasa lain. 

Namun, dalam satu-dua wawancaranya di Roland-Garros (Turnamen Prancis Terbuka) Rafa dapat bertanya-jawab singkat dalam bahasa Prancis. Saya yakin itu ada kaitannya dengan keistimewaan lapangan tanah liat Roland-Garros bagi Rafa. Rafa dikenal sebagai raja lapangan tanah liat. Ia telah 12 kali menjadi juara di Roland-Garros, sebuah capaian yang akan sulit terlampaui. Tampaknya kemampuan dan kemauan Rafa berbahasa Prancis merupakan bentuk penghargaannya kepada publik Prancis sebagai tuan rumah lapangan tanah liat Roland-Garros yang dicintainya.

Di luar petenis tiga besar dunia itu, para petenis profesional lainnya pada umumnya adalah seorang dwibahasawan. Mereka menggunakan bahasa ibunya dan bahasa Inggris. Sementara itu, petenis profesional yang berasal dari negara yang berbahasa resmi (hanya) bahasa Inggris mungkin merasa cukup menjadi seorang ekabahasawan, kecuali jika mereka memiliki latar belakang atau motivasi tertentu. 

Misalnya, Serena Williams, legenda hidup dari Amerika Serikat. Ia belajar bahasa Prancis karena ingin menjuarai Prancis Terbuka dan ingin berbicara dalam bahasa Prancis dalam pidato kemenangannya. Selain itu, ia beralasan pula bahwa negara-negara di Afrika (Serena beretnis Afro-Amerika) menggunakan bahasa Prancis atau Inggris sebagai bahasa utama di samping bahasa lokal.

Walaupun saya lebih dahulu mengikuti wawancara-wawancara para pemain basket, saya baru tertarik dengan fenomena multilingualisme itu di dunia tenis karena pemain basket NBA pada umumnya adalah orang Amerika Serikat, yang bahasa pertama dan utamanya adalah bahasa Inggris, dan kompetisi mereka berlangsung di Amerika Serikat sehingga wawancara yang harus mereka hadapi pun tentu dalam bahasa Inggris. Selain itu, pemain dari luar Amerika Serikat didominasi oleh pebasket dari Kanada dan Australia yang notabene juga berbahasa ibu bahasa Inggris. Jadi, mereka (merasa) cukup berbahasa Inggris.

Jadi, tidak ada poliglot di NBA? Dalam perkembangan NBA sebagai liga basket tersohor, banyak pemain internasional, dari luar Kanada dan Australia, yang turut berpartisipasi dan berkontribusi di NBA, seperti pebasket dari Prancis (Nicolas Batum, Rudi Gobert, dkk.), Spanyol (Gasol bersaudara, Ricky Rubio, dkk.), Brazil (Anderson Varejao, Leandro Barbosa, dkk.), Italia (Marco Belinelli, Danilo Gallinari, dkk.), Serbia (Bojan Bogdanovic, Nikola Jokic, dkk.), Yunani (Giannis Antetokounmpo, Peja Stojakovic, dkk.), Turki (Ersan lyasova, Enes Kanter, dkk.), dan negara-negara di Afrika (Joel Embiid, Luol Deng, dkk.). 

Sepengetahuan saya, pada umumnya mereka adalah dwibahasawan dengan kemahiran berbahasa Inggris yang beragam. Kedwibahasaan itu kadang digunakan untuk menghindari hukuman saat pertandingan berlangsung. Dalam aturan pertandingan NBA, pemain akan mendapat hukuman jika mengumpat di lapangan. Di antara pemain internasional itu, ada pemain yang mengumpat dalam bahasa ibunya yang bukan bahasa Inggris. Karena wasit tidak mengerti bahasa ibu mereka, pemain itu pun luput dari hukuman.

Nah, yang istimewa adalah Dikembe Mutombo, Serge Ibaka, dan Kobe Bryant. Dikembe Mutombo dan Serge Ibaka berasal dari Kongo. Kepoliglotan Mutombo dan Ibaka menjadi lazim karena di Afrika, termasuk Kongo, terdapat hampir 2.000 bahasa yang digunakan dalam masyarakat dengan bahasa resmi Prancis, Inggris, dan/atau Arab sehingga pada umumnya seseorang yang berasal/tinggal di Afrika memang menguasai lebih dari dua bahasa. Menurut Mutombo, di dalam keluarganya saja digunakan empat bahasa Afrika. Mutombo berkarir di NBA tahun 1991--2009. Mantan pemain NBA ini dikenal dengan kemahirannya dalam berbahasa Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, Tshiluba, Swahili, Lingala, dan Congolese, bahasa ibunya. Serge Ibaka merupakan pemain yang masih aktif bermain untuk tim Toronto Raptors. Ia menguasai bahasa Lingala (bahasa ibunya), Prancis (bahasa resmi Republik Kongo), Inggris, Catalan, dan Spanyol. Lalu, bagaimana denga Kobe Bryant? Legenda basket yang kepergiannya beberapa bulan lalu mengejutkan dan memurungkan hati banyak orang itu menguasai bahasa Inggris, Italia, dan Spanyol. Ia mahir berbahasa Italia karena menghabiskan masa kecilnya di Italia. Dengan latar belakang itu, mereka dapat meladeni reporter dalam beberapa bahasa pada saat konferensi pers.

Baiklah. Untuk dunia MotoGP dan Formula 1 baru sedikit pebalap yang saya kenali performanya, baik di lintasan, maupun di depan mikrofon karena baru setahun belakangan ini saya menonton arena adu pacu ini. Yang menarik adalah podium MotoGP, selama saya ikuti, dikuasai oleh pebalap yang bahasa ibunya non-bahasa Inggris, seperti Marc Marquez (Spanyol), Valentino Rossi (Italia)--walaupun sudah lama tidak naik podium, Rossi kembali unjuk gigi dengan meraih peringkat ketiga di Andalusia bulan Juli lalu--, Fabio Quartararo (Prancis), Andrea Dovizioso (Italia), Maverick Vinales (Spanyol), Franco Morbidelli (Italia), Joan Mir (Spanyol), dan Miguel Oliveira (Portugis), yang bulan lalu sukses membuat kehebohan pada detik-detik terakhir balapan di Spielberg. Hanya dua pebalap yang berbahasa ibu atau berbahasa formal bahasa Inggris yang bisa menembus dominasi mereka, yaitu Jack Miller (Australia) dan Brad Binder (Afrika Selatan). Jadi, podium MotoGP didominasi oleh bahasa Inggris berlogat Spanyol, Italia, dan Prancis. Tampak jelas bahwa mereka berbahasa Inggris dan menjadi dwibahasawan, tidak sampai menjadi poliglot, karena "tuntutan" media dan publik internasional.   

Berbeda dengan arena MotoGP, arena Formula 1 justru didominasi oleh pebalap yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, seperti Lewis Hamilton, Lando Norris, dan George Russel (Inggris), Daniel Ricciardo (Australia), Lance Stroll dan Nicolas Latifi (Kanada), dan Charles Leclerc (Monako). Di arena mobil balap ini juga saya melihat kecenderungan pebalap yang berusaha untuk berbicara atau minimal memahami bahasa yang digunakan oleh tim konstruktor mobil yang mereka bela dan publik pendukung di negara konstruktor itu, apalagi jika konstruktor itu sudah punya nama besar dan pendukung yang fanatik serta masif, seperti Ferrari (Italia) dengan tifosi-nya. Itu salah satu faktor lahirnya kemahiran berdwibahasa atau bermultibahasa. Contohnya adalah Fernando Alonso, pebalap asal Spanyol ini bergabung di Scuderia Ferrari tahun 2010--2014 dan dapat berbahasa Italia. Selain itu, Nando dapat berkomunikasi dengan bahasa Spanyol tentu saja, Inggris, dan Prancis (ia menjadi pebalap tim Renault, Prancis pada tahun 2003--2006 dan 2008--2009). Sebastian Vettel (Jerman), pebalap Ferrari (sebelumnya juga pernah bergabung di Toro Rosso, Italia) juga dapat berbahasa Italia, selain menggunakan bahasa ibunya, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris. Namun, Nico Rosberg (Jerman) diketahui menguasai bahasa Jerman, Inggris, Spanyol, dan Italia walaupun tidak pernah bergabung dengan tim Italia. Tentu itu tidak terlepas dari bakat dan minatnya dalam berbahasa yang terasah dengan tur Formula 1 di berbagai negara dan pergaulan internasionalnya. O ya, Fernando Alonso adalah juara dunia F1 tahun 2005 dan 2006, Sebastian Vettel menjadi juara dunia F1 empat tahun berturut-turut, 2010--2014, dan Nico Rosberg menjadi juara dunia F1 pada tahun 2016.

Jadi, begitulah. Ketika menjadi "milik" dunia, seorang atlet dengan berbagai keuntungan dan tuntutan di sekelilingnya dapat atau harus pula menjangkau dunia dengan bahasanya. 

Untuk menutup tulisan ini saya kutip perkataan Dikembe Mutombo tentang belajar bahasa: "Belajar bahasa itu menyenangkan karena bahasa adalah seni yang menginspirasi seseorang. Kau merasakan melodi ketika belajar bahasa. Ketika berbicara dalam satu bahasa, misalnya bahasa Prancis, kau merasakan melodi mengalun di benakmu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun