Rafael Nadal memulai karier profesionalnya pada tahun 2001 saat masih berusia 15 tahun dan pada tahun 2005 ketika berusia 19 tahun, ia memenangi grand slam pertamanya di turnamen Prancis Terbuka. Kemenangan itu mengawali seabrek kemenangan lainnya. Hingga kini pada usianya yang ke-33 ia telah mengantongi 84 gelar juara, termasuk 19 gelar grand slam.Â
Kalau menelusuri jejak wawancara Rafael Nadal pada masa awal ia menjadi seorang juara, Anda akan menemukan saat-saat ia hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Bahkan, ada momen ketika Rafa dengan lugu terkaget sendiri karena menyadari dirinya dapat mengungkapkan jawaban kepada wartawan dalam rangkaian kata pendek dalam bahasa Inggris.Â
Dalam sebuah tanya jawab dengan penggemarnya, Rafa mengakui bahwa perjalanannya untuk belajar berbahasa Inggris sejak berusia 15 tahun merupakan proses yang lamban. Hingga kini kemampuannya berbahasa Inggris sudah makin baik walaupun ia tetap kesulitan ketika harus berbicara mengenai hal di luar tenis. Bahasa Inggris terucap dengan logat Spanyol yang kental. Itulah bahasa Rafa.
Saya kemudian menyimak wawancara-wawancara Roger Federer, rival utama Rafael Nadal. Roger berkebangsaan Swiss. Di Swiss digunakan empat bahasa resmi, yaitu bahasa Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh. Dengan lingkungan bahasa seperti itu, Roger beruntung dapat memiliki repertoir linguistik yang kaya. Selain itu, karena ibunya berasal dari Afrika Selatan, ia pun dapat berbahasa Inggris. Menurutnya, bahasa pertamanya adalah bahasa Jerman-Swiss (bahasa Jerman yang diajarkan di sekolah di Swiss adalah bahasa Jerman standar, bukan Jerman-Swiss), bahasa keduanya bahasa Inggris, lalu bahasa lainnya, yaitu bahasa Prancis dan Italia.Â
Nah, entah karena pengaruh kekayaan repertoir linguistiknya atau bukan, Roger Federer ini selalu tertarik untuk belajar bahasa. Dalam sebuah wawancara, Roger mengatakan bahwa ia sedang belajar bahasa Swedia. Ini berkaitan dengan dua orang berkebangsaan Swedia yang pernah menjadi pelatihnya dalam periode yang berbeda (Peter Lundgren dan Stefan Edberg).Â
Menurutnya pula, ia mulai belajar bahasa Mandarin. Itu dapat berkaitan dengan beberapa turnamen tenis yang diselenggarakan di Tiongkok. Jadi, selain punya repertoir linguistik yang kaya, Roger Federer juga seorang pemelajar bahasa yang antusias. Ia poliglot alami yang terus memperkaya repertoirnya.
Kalau sudah menyinggung dua dari the big three dalam dunia tenis, tidak bisa tidak, saya pun melirik yang ketiga, Novak Djokovic. Ia orang Serbia. Selain berbahasa Serbia, tidak jauh berbeda dengan Roger Federer, Novak Djokovic juga dapat meladeni wawancara dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman. Kemampuannya untuk berbahasa Italia dapat terasah karena ia pernah dilatih oleh Riccardo Piatti dari Italia. Ia juga pernah dilatih oleh Boris Becker yang berkebangsaan Jerman. Selain itu, ia dapat pula berbahasa Spanyol. Tampaknya ia juga penasaran untuk belajar bahasa Mandarin. Djokovic pun antusias belajar bahasa. Menurutnya, dalam kebudayaan Serbia terdapat peribahasa yang berbunyi "makin banyak bahasa yang dikuasai oleh seseorang, makin mulialah ia sebagai manusia".
Kasus Roger Federer dan Novak Djokovic menunjukkan bahwa sosok pelatih yang berganti-ganti dan berbeda kebangsaan menjadi salah satu faktor yang membentuk atau memperluas "wilayah kekuasaan" mereka sebagai seorang poliglot. Namun, itu tidak berlaku bagi Rafael Nadal.Â
Sejak memulai kariernya, ia tetap dilatih oleh orang yang sama, yaitu Toni Nadal, pamannya, dan Francisco Roig. Keduanya orang Spanyol. Belakangan Rafa juga menambahkan Carlos Moya, mantan petenis nomor satu dunia, yang juga berasal dari Spanyol ke dalam tim pelatih pribadinya. Jadi, memang "tidak ada alasan" bagi Rafael Nadal untuk bekerja keras belajar bahasa lain.Â
Namun, dalam satu-dua wawancaranya di Roland-Garros (Turnamen Prancis Terbuka) Rafa dapat bertanya-jawab singkat dalam bahasa Prancis. Saya yakin itu ada kaitannya dengan keistimewaan lapangan tanah liat Roland-Garros bagi Rafa. Rafa dikenal sebagai raja lapangan tanah liat. Ia telah 12 kali menjadi juara di Roland-Garros, sebuah capaian yang akan sulit terlampaui. Tampaknya kemampuan dan kemauan Rafa berbahasa Prancis merupakan bentuk penghargaannya kepada publik Prancis sebagai tuan rumah lapangan tanah liat Roland-Garros yang dicintainya.
Di luar petenis tiga besar dunia itu, para petenis profesional lainnya pada umumnya adalah seorang dwibahasawan. Mereka menggunakan bahasa ibunya dan bahasa Inggris. Sementara itu, petenis profesional yang berasal dari negara yang berbahasa resmi (hanya) bahasa Inggris mungkin merasa cukup menjadi seorang ekabahasawan, kecuali jika mereka memiliki latar belakang atau motivasi tertentu.Â