Ya itulah, orang lain mungkin punya batas sabar dan maklum kepada orang lain, tetapi seringnya kalau sudah bicara soal sabar, maklum, atau pengertiannya orang tua ke anak..., umumnya punya lebih. Berapa banyak orang tua yang dikecewakan anaknya, bahkan ekstrem tetapi tetap mampu memaafkan?. Apalagi soalan masih simpel begini, saya pun mengerti bila ada orang tua yang sebenarnya sudah mencoba membuat larangan tetapi implementasi ke anak agak longgar, yang penting substansi tujuannya masih tetap dapat, istilahnya masih bisalah ditolerir. Mungkin saya bersikap demikian karena naluri manusia dan ibu. Kok gitu?, sebagai manusia sudah umum punya rasa iba dan kasian, nah ketambahan lagi ia sebagai ibu.
Soalan begini juga umum ya..., namun sering pula saya dapati bahwa perilaku kita membiarkan anak dengan gadget kurang atau bahkan tidak dibarengi dengan upaya maksimal kita mengawasi anak. Jadi kasih ya kasih saja, upaya pengawasannya? maksimal hanya sebatas kesepakatan "Kalau lupa waktu nanti gak boleh maen hp lagi ya", sebatas lisan.Â
Baru 2 model yang saya temukan dilapangan dan beneran di-implementasikan, entah karena jangkauan pertemanan saya yang kurang atau mayoritas orang tua kebanyakakan "luluh gak tega" sama anak bila berbenturan antara disiplin yang membatasi ruang gerak anak dengan rasa kasihan. Yang pertama kakak saya dengan model konvensional, pakai cara lama.
Anaknya yang pertama menggunakan smartphone pribadi sejak awal dari hasil menabung uang jajan, kurang sedikit barulah kakak saya menambahi uangnya, yang penting bagi kakak saya adalah ia punya cara halal atau usaha untuk membeli sesuatu gak melulu minta ortu semuanya. Dan entah sudah berapa kali pas saya main ke rumahnya pas anaknya disita hp-nya, alasan umum karena lupa waktu, bisa juga hal disiplin lain dan yang jadi sasaran hp.nya diambil :-D.
Kakak saya cukup tegaan juga kalau sudah sita hp anak-anaknya (dan gak hanya anaknya yang sulung ya). Pernah suatu hari ibu saya sampai mau menangis mengadukan sikap kakak saya itu ke anaknya kepada saya, karena suatu hal (saya lupa) kakak saya menyita hp anaknya entah sudah sebulan atau berapa lama begitu, ditambah si anak itu sering jalan dari sekolah sampai rumah, dan si anak turun berat badannya sehingga dia lebih kurus, ibu saya langsung mengkait-kaitkan deh :-). Dan model ke dua seperti tetangga saya itu, melibatkan teknologi untuk pengawasan, seperti hp tidak akan berfungsi bila sudah habis batas waktu settingan on-nya.
Mana cara lebih sesuai? tidak ada yang baku dalam hal ini. Semua berpulang kepada kebiasaan masing-masing karena setiap keluarga pasti sudah punya kebiasaan yang membudaya meski tidak tertulis, dan biasanya sudah disepakati bersama oleh seluruh anggota keluarga walau ada satu dua anggota yang mungkin gak suka. Misal, telat bangun pagi untuk sekolah, konsekuensinya tidak bareng ayahnya pas berangkat kerja alias jalan kaki ke sekolah, gak perlu ditunggu.
Uang jajan habis pas di sekolah?, ya resiko nanti siang atau sore gak jajan (bila uang yang diberikan untuk jajan satu hari). Namun ada kalanya peraturan yang disepakati umum dikeluarga bisa jadi diintervensi oleh anggota keluarga lain yang bukan keluarga inti dalam rumah, misalnya nenek. Contohnya, kakak saya tidak akan memberi uang jajan lebih bila pas pagi hari uang jajan anaknya habis, ya sudah siang atau nanti sore gak jajan karena sudah dihabiskan di waktu pagi.
Inginnya kakak saya adalah agar anak-anaknya mengerti dan belajar bagaimana mengatur uang jajan tersebut agar satu hari itu cukup. Tetapi sering aturan itu jadi tak efisien karena ibu saya yang bila pagi mengawasi anak-anak kakak saya (kakak saya perempuan dan bekerja diluar rumah), memberi uang jajan :-D.
"Uang kamu kemana?" tanya ibu saya,
"Udah habis mae?" jawab keponakan saya (mae adalah sebutan anak-anak kakak saya kepada ibu saya)