Berawal dari status WA salah satu tetangga saya, jadi menambah kesadaran bahwa banyak orang tua yang memberi akses pada anak untuk menggunakan gawai atau lebih dikenal dengan gadget, namun kurang dalam pengawasan (khusus yang saya bahas disini adalah smartphone). Betul, anak adalah amanah dan aset masa depan, walau banyak dari orang tua yang secara tidak sadar belum memberlakukan anaknya demikian. Kelihatannya sepele, namun saat anak tumbuh dan besar dengan tindakan yang sedikit atau banyak menyimpang dari pakem kebenaran atau norma kebaikan pada umumnya, barulah disitu ada sesal.
Contoh kecil tapi dampaknya gak sepele, misal saat anak berujar "Mama anjing, Bapak anjing", hanya dua kata tapi bagi saya menyesakkan dada... bila itu diucap anak ke orang tua kandungnya, dan saya menganggap itu gak sepele karena ada dasar Norma Sosial lingkup kecil disana yang rapuh. Apakah ada yang demikian? Ada! saya menyaksikan sendiri. Ini memang contoh diluar soal gawai yah, hanya ingin menambahkan bahwa masih banyak didikan remeh-temeh tetapi penting lalu diabaikan padahal riskan bila tidak benar-benar kita sebagai orang tua terapkan. Nah, Smartphone hanya salah satu unit kecil di dalamnya.
Tidak hanya berlaku untuk sakit saja, mencegah lebih baik dari mengobati bisa kita terapkan sebagai orang tua dalam mendidik anak. Memberikan pendidikan sejak dini, entah dari sisi agama, formal konvensional, dan lingkungan adalah berbagai langkah preventif agar anak-anak diharapkan tumbuh dan besar dalam kebaikan.
Saya pun masih belajar, memahami pola anak, mencoba "memasangkan" pola pendidikan ini dan itu ke anak meski saya ingat kembali bahwa jangan sampai keinginan atau idealisme-nya kita yang kita "anggap" baik atau benar, malah jadi kekangan tersendiri buat anak. Maunya baik, alih-alih bagus, maunya sesuai koridor agama, di jalan lurus, tapi kadang fakta hasil malah sebaliknya. Tak melulu pada anaknya, karena bisa jadi kita-lah yang terlebih dulu harus berbenah karena ada cara yang kita gunakan tidak tepat bahkan salah.
Baiklah, balik ke soal status WA salah satu tetangga saya itu. Ia punya 2 anak, kesemuanya laki-laki. Hampir dua tahun saya bertetangga dengannya, suaminya bekerja office hour layaknya pekerja kantoran yang lain dan ia sendiri bekerja di rumah. Selain sebagai ibu rumah tangga, ia juga bekerja secara online. Kurang lebih seperti saya, bedanya kerjaan online-nya dia settled, sedangkan saya lebih banyak mangkraknya :-D (gak nyambung sih :-d).
Tentu sekuel rumah tangganya saya tak perlulah menyelidik, tapi perilaku anak-anaknya mencerminkan bahwa orang tuanya paham mengenai pola asuh yang baik ke anak adalah prioritas, meski sesekali ada kekesalan atau kejengkelan orang tua karena anak bertingkah, saya anggap itu adalah lumrah. Anak sulungnya kelas 5 SD, dan yang kedua sekitar 4tahun. Yang kecil, terkadang main dengan anak saya. Anaknya tidak terlalu ngotot main, dan mau berbagi dengan anak lain, walau tentu anak seusia dia pasti ada sisi "gak boleh"-nya, tapi melihat perilaku anaknya saya menyimpulkan bahwa kedua orangtuanya serius menanamkan rasa sosial yang santun kepada sekitar.
Contoh kecilnya saat mobil-mobilan yang dibawa anak saya jatuh, lalu anaknya yang kecil langsung berlari menghampiri dan mengambilkannya untuk Guin, anak saya. Anaknya yang pertama saya anggap ramah untuk seusianya, sering menyapa terlebih dahulu baik senyum atau kata, entah dengan saya, suami, atau dengan anak saya.
Pagi ini, ia membagikan status bahwa anaknya yang sulung ia batasi jam main-main gagdet-nya (sepertinya sih sudah agak lama ia berlakukan, karena sebelumnya ia pernah share juga atas pantauan dia terhadap aktivitas online anaknya )
Tidak mungkin berharap banyak anak berucap santun bila sering mendengar tutur kata orang tuanya kasar bukan?, padahal yang saat ini saya bahas pun sederhana, hanya salah satu bagian terkecil dari manajemen waktu khususnya untuk anak. Saya dan tetangga saya sepakat bahwa anak kita harus punya tanggung jawab terhadap waktu, udah itu aja. Meski sebagai orang tua akhirnya sering juga "mengalah" melonggarkan sedikit lagi aturan.
Ya itulah, orang lain mungkin punya batas sabar dan maklum kepada orang lain, tetapi seringnya kalau sudah bicara soal sabar, maklum, atau pengertiannya orang tua ke anak..., umumnya punya lebih. Berapa banyak orang tua yang dikecewakan anaknya, bahkan ekstrem tetapi tetap mampu memaafkan?. Apalagi soalan masih simpel begini, saya pun mengerti bila ada orang tua yang sebenarnya sudah mencoba membuat larangan tetapi implementasi ke anak agak longgar, yang penting substansi tujuannya masih tetap dapat, istilahnya masih bisalah ditolerir. Mungkin saya bersikap demikian karena naluri manusia dan ibu. Kok gitu?, sebagai manusia sudah umum punya rasa iba dan kasian, nah ketambahan lagi ia sebagai ibu.
Baru 2 model yang saya temukan dilapangan dan beneran di-implementasikan, entah karena jangkauan pertemanan saya yang kurang atau mayoritas orang tua kebanyakakan "luluh gak tega" sama anak bila berbenturan antara disiplin yang membatasi ruang gerak anak dengan rasa kasihan. Yang pertama kakak saya dengan model konvensional, pakai cara lama.
Anaknya yang pertama menggunakan smartphone pribadi sejak awal dari hasil menabung uang jajan, kurang sedikit barulah kakak saya menambahi uangnya, yang penting bagi kakak saya adalah ia punya cara halal atau usaha untuk membeli sesuatu gak melulu minta ortu semuanya. Dan entah sudah berapa kali pas saya main ke rumahnya pas anaknya disita hp-nya, alasan umum karena lupa waktu, bisa juga hal disiplin lain dan yang jadi sasaran hp.nya diambil :-D.
Kakak saya cukup tegaan juga kalau sudah sita hp anak-anaknya (dan gak hanya anaknya yang sulung ya). Pernah suatu hari ibu saya sampai mau menangis mengadukan sikap kakak saya itu ke anaknya kepada saya, karena suatu hal (saya lupa) kakak saya menyita hp anaknya entah sudah sebulan atau berapa lama begitu, ditambah si anak itu sering jalan dari sekolah sampai rumah, dan si anak turun berat badannya sehingga dia lebih kurus, ibu saya langsung mengkait-kaitkan deh :-). Dan model ke dua seperti tetangga saya itu, melibatkan teknologi untuk pengawasan, seperti hp tidak akan berfungsi bila sudah habis batas waktu settingan on-nya.
Mana cara lebih sesuai? tidak ada yang baku dalam hal ini. Semua berpulang kepada kebiasaan masing-masing karena setiap keluarga pasti sudah punya kebiasaan yang membudaya meski tidak tertulis, dan biasanya sudah disepakati bersama oleh seluruh anggota keluarga walau ada satu dua anggota yang mungkin gak suka. Misal, telat bangun pagi untuk sekolah, konsekuensinya tidak bareng ayahnya pas berangkat kerja alias jalan kaki ke sekolah, gak perlu ditunggu.
Uang jajan habis pas di sekolah?, ya resiko nanti siang atau sore gak jajan (bila uang yang diberikan untuk jajan satu hari). Namun ada kalanya peraturan yang disepakati umum dikeluarga bisa jadi diintervensi oleh anggota keluarga lain yang bukan keluarga inti dalam rumah, misalnya nenek. Contohnya, kakak saya tidak akan memberi uang jajan lebih bila pas pagi hari uang jajan anaknya habis, ya sudah siang atau nanti sore gak jajan karena sudah dihabiskan di waktu pagi.
Inginnya kakak saya adalah agar anak-anaknya mengerti dan belajar bagaimana mengatur uang jajan tersebut agar satu hari itu cukup. Tetapi sering aturan itu jadi tak efisien karena ibu saya yang bila pagi mengawasi anak-anak kakak saya (kakak saya perempuan dan bekerja diluar rumah), memberi uang jajan :-D.
"Uang kamu kemana?" tanya ibu saya,
"Udah habis mae?" jawab keponakan saya (mae adalah sebutan anak-anak kakak saya kepada ibu saya)
"Ya udah, nih mae ada" ... :-D
Dan apakah cara mendidik anak cara A, B, C pasti berhasil? terlebih masalah gadget yang sekarang umum jadi candu (jangankan anak, lah saya juga terkadang masih bersikap kurang manfaat saat menggunakan smartphone :-D). Ya belum tentu, kembali lagi pada konsep "manusia itu dinamis", maka sangat wajar bila ada aturan untuk anak yang satu sesuai tetapi untuk yang lain tidak dan sebaliknya. Cara tetangga saya itu sepertinya cukup efektif untuk anaknya.
Namun saya melihat secara keseluruhan, ada hal lain yang saya pelajari. Bahwa aturan baru yang akhirnya disetujui si anak, boleh jadi karena kita menanamkan edukasi yang lain sebelumnya (dalam hal ini disiplin), sehingga saat ada cara edukasi atau aturan yang baru, si anak lebih mampu beradaptasi dan minim menolak. Artinya sejak dini hal-hal atau kebiasaan baik meski kecil terlihat adalah cicilan atau celengan dikemudian hari bagi si anak saat ada aturan kebaikan baru, sehingga meski kapasitasnya tambah berat dia coba memahami, ini baik atau itu kurang baik dan seterusnya.
Akhirnya, teknologi yang kini berkembang pesat bahkan memberi akses praktis serta memudahkan pekerjaan manusia sungguh membantu, pun bisa menjadi salah satu alat edukasi untuk anak. Tetapi perlu diingat kembali bahwa penggunaan yang berlebihan tetaplah tidak baik. Dahulu saja kita sering diingatkan bila mainnya sudah lama walau permainannya hanya main karet atau lompat tali, congklak, bola bekel, ular tangga, kelereng, dsb. Padahal permainan dahulu dampak negatif-nya jauh lebih sedikit, namun disiplin waktu tetap saja diterapkan bukan?
Nah, tentu sangat wajar bila kita di era saat ini meningkatkan ragam pengawasan karena kemajuan dunia sekarang wajib dibarengi dengan tindakan konsekuen yang tidak main-main disamping kita sebagai orang tua harus cakap meningkatkan pengetahuan pula. Karena menjawab tantangan hari ini persoalan anak adalah bagaimana pula kita menambah edukasi tidak hanya untuk anak, tetapi kita sebagai orang tua pun sejatinya menambah wawasan.
Terimakasih sudah membaca :-)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI