Sepertinya Tuhan tengah menghukumku, Dia tumbuhkan rasa cinta, namun cinta itu mustahil untuk kumiliki.
Â
"Agak ke kiri sedikit pak, ya.. disitu." Aku memicingkan mata untuk memastikan letak cermin antik yang tadi siang aku beli sudah tepat. Perfect.
Usai memberikan ongkos ke pegawai toko barang antik sekalian tip karena telah membantuku memasang cermin, aku kembali ke kamar tidur dimana kaca yang kira kira setinggi 1,5 m dengan lebar 1 m itu aku letakkan.
Siang tadi saat aku tengah jalan jalan dan mampir ke sebuah toko antik yang kebetulan aku lewati , aku langsung jatuh cinta dengan cermin yang pinggirannya dihiasi ukiran kayu dengan motif bunga dan daunnya itu. Kesan kuat dan antik juga terlihat dari pinggiran cermin yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua.
Usai membersihkan diri, aku mematut diri di depan cermin baruku. Gaun tidur dari sutra berwarna putih gading membuat kulit putihku terlihat semakin cerah. Rambut panjangku yang berwarna hitam alami aku biarkan terurai. Sebenarnya, aku terlihat cukup cantik, tapi entah kenapa kok sampai sekarang, di usia yang hampir kepala tiga, aku masih belum menemukan pasangan hidup.
Aku melihat kembali bayanganku di dalam cermin dan terbelalak tak percaya karena kaget. Bagaimana tidak, disana, aku melihat bayanganku sendiri, tapi bukan mengenakan gaun tidur berwarna putih gading, namun mengenakan baju seperti yang pernah aku lihat di buku buku sejarah, baju kebesaran seorang putri raja. Aku mengerjapkan mataku, menguceknya berulang ulang, namun bayangan di dalam cermin tetap tak berubah. Aku panik, pikiranku memerintah kakiku untuk lari, namun kakiku seperti terbenam di dalam tanah. Aku pingsan.
"Tuan putri, tuan putri Ambarwati baik baik saja?" seorang wanita tua dengan rambut disanggul di belakang dan mengenakan pakaian model kuno mengguncang guncang tubuhku.
"Iya, namaku Ambarwati, tapi aku bukan tuan putri. Dimana aku? siapa kamu?"
"Tuan putri, hamba dayang Asih. Pengasuh tuan putri sejak bayi, bagaimana mungkin tuan putri lupa?" Mata perempuan tua yang menyebut dirinya dayang Asih itu terlihat berkaca kaca.
"Sudah aku bilang, aku bukan putri. Tadi aku sedang berkaca di kamarku, lalu aku melihat bayanganku sendiri di dalam cermin dengan pakaian yang sangat aneh, lalu kepalaku pusing dan aku tidak ingat apapun lagi."
"Tuan putri, hamba tau, tuan putri sedang sedih karena tuan putri tidak mau dijodohkan dengan pangeran Lorpatih, tapi tuan putri jangan membuat hamba takut seperti ini." Perempuan tua itu meletakkan tangannya di atas dahiku. Huh, sebenarnya aku atau dia yang gila.
Aku melihat sekeliling ruangan. Ruangan yang sangat besar dengan perabotan yang kesemuanya terlihat antik, kuno tepatnya. Hampir semua perabotan terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang sangat indah. Pandanganku terhenti saat aku melihat sebuah cermin yang sama persis seperti cermin yang ada di kamarku. Aku mendekatinya lalu mengelusnya perlahan, "sebenarnya apa yang tengah terjadi?, kenapa aku bisa ada disini?"
"Ambarwati, putriku," aku menoleh ke sumber suara. Seorang pria setengah baya dengan mahkota yang berkilauan di kepalanya. Di sebelahnya, seorang wanita cantik dan anggun juga dengan mahkota di kepalanya, tengah tersenyum ke arahku. Aku menduga kalau mereka adalah orang tua putri Ambarwati.
Aku tersenyum ke arah mereka. Aku sudah memutuskan, untuk sementara aku akan berpura pura menjadi putri Ambarwati, setidaknya hingga aku bisa menemukan cara untuk kembali ke kehidupanku yang sebenarnya.
"Pangeran Lorpatih sudah tiba di istana. Putriku, kamu belum pernah bertemu dengannya, bagaimana mungkin kamu bilang kamu tidak suka dan tidak mau menikah dengannya." Pria bermahkota itu berkata.
"Setelah bertemu dengannya, kamu pasti langsung jatuh cinta," tambah perempuan di sebelahnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Sang ratu kemudian menggandeng tanganku untuk ikut bersamanya. Hatiku berdebar kencang, pertama, terus terang saja aku takut jatuh karena tak terbiasa berjalan menggunakan kostum seperti ini, dan yang kedua, aku takut kalau si pangeran benar benar tampan dan bisa membuatku jatuh cinta. "Beginilah kalau terlalu lama menjomblo," makiku pada diriku sendiri.
Aku memperlambat langkahku saat sampai di sebuah ruangan yang sangat besar, semacam aula. Semua orang memberi hormat dengan cara menundukkan kepala saat kami tiba. Pria bermahkota duduk di sebuah singgasana bertahtahkan emas, disusul oleh wanita bermahkota yang duduk di sebelah kanan sang raja. Aku melihat sebuah kursi kosong di sebelah kiri singgasana raja, itu mungkin tempat duduk putri Ambarwati hingga aku memutuskan untuk duduk di atasnya.
"Pangeran Lorpatih," panggil sang raja.
"Hamba paduka," seorang pemuda dengan pakaian kebesaran yang sangat bagus, maju beberapa langkah ke depan. Hatiku berdebar semakin kencang. Pemuda itu terlihat sangat tampan, matanya tajam, rahangnya kokoh, dan senyumnya juga sangat manis. Tubuhnya terlihat sangat atletis, "dia pasti sering berolah raga," pikirku.
Aku tertawa geli karena pikiranku sendiri, mana ada tempat fitness di kerajaan. Ah, bodohnya putri Ambarwati kalau sampai menolak suami sesempurna pangeran Lorpatih.
"Bagaimana Ambarwati?" Tanya sang raja. Aku menoleh ke arah sang raja. Bagaimana apanya?, aku terlalu terpesona dengan si pangeran hingga tak mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Ayahanda, bolehkah aku berpikir semalam lagi?, aku akan menjawabnya besok pagi," kataku akhirnya.
"Baiklah."
Sang raja kemudian bangkit dari singgasana, disusul sang ratu, dan akupun mengikuti mereka di belakang. Saat melewati pangeran Lorpatih, dengan sengaja aku menatap ke arahnya. Muka pangeran itu memerah, lalu senyum indah terlukis dari bibirnya. Ya Tuhan, kenapa dia harus dijodohkan dengan putri Ambarwati?, kenapa tidak dijodohkan denganku saja?.
Setelah kembali ke kamar putri Ambarwati, kembali aku mengamati cermin antik yang sama persis dengan cermin di kamarku. Tidak ada yang aneh. Tidak ada tombol tombol yang memungkinkan untuk cermin itu disebut sebagai mesin waktu. Kemudian, aku berdiri di depan cermin, aku melihat bayanganku sendiri yang masih mengenakan pakaian kebesaran seorang putri kerajaan. Lalu aku teringat pada pangeran Lorpatih, ah seandainya aku bisa bertukar tempat dengan putri Ambarwati lalu menikah dengannya, alangkah bahagianya.
Aku mengucek kedua mataku saat bayangan di dalam cermin telah berubah. Disana, aku melihat bayanganku sendiri tengah mengenakan gaun tidur berwarna putih gading. Aku panik.
"Jangan sekarang! jangan! aku bahkan belum sempat berkenalan dengan pangeran tampan itu, jangan!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H