"Tuan putri, hamba tau, tuan putri sedang sedih karena tuan putri tidak mau dijodohkan dengan pangeran Lorpatih, tapi tuan putri jangan membuat hamba takut seperti ini." Perempuan tua itu meletakkan tangannya di atas dahiku. Huh, sebenarnya aku atau dia yang gila.
Aku melihat sekeliling ruangan. Ruangan yang sangat besar dengan perabotan yang kesemuanya terlihat antik, kuno tepatnya. Hampir semua perabotan terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang sangat indah. Pandanganku terhenti saat aku melihat sebuah cermin yang sama persis seperti cermin yang ada di kamarku. Aku mendekatinya lalu mengelusnya perlahan, "sebenarnya apa yang tengah terjadi?, kenapa aku bisa ada disini?"
"Ambarwati, putriku," aku menoleh ke sumber suara. Seorang pria setengah baya dengan mahkota yang berkilauan di kepalanya. Di sebelahnya, seorang wanita cantik dan anggun juga dengan mahkota di kepalanya, tengah tersenyum ke arahku. Aku menduga kalau mereka adalah orang tua putri Ambarwati.
Aku tersenyum ke arah mereka. Aku sudah memutuskan, untuk sementara aku akan berpura pura menjadi putri Ambarwati, setidaknya hingga aku bisa menemukan cara untuk kembali ke kehidupanku yang sebenarnya.
"Pangeran Lorpatih sudah tiba di istana. Putriku, kamu belum pernah bertemu dengannya, bagaimana mungkin kamu bilang kamu tidak suka dan tidak mau menikah dengannya." Pria bermahkota itu berkata.
"Setelah bertemu dengannya, kamu pasti langsung jatuh cinta," tambah perempuan di sebelahnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Sang ratu kemudian menggandeng tanganku untuk ikut bersamanya. Hatiku berdebar kencang, pertama, terus terang saja aku takut jatuh karena tak terbiasa berjalan menggunakan kostum seperti ini, dan yang kedua, aku takut kalau si pangeran benar benar tampan dan bisa membuatku jatuh cinta. "Beginilah kalau terlalu lama menjomblo," makiku pada diriku sendiri.
Aku memperlambat langkahku saat sampai di sebuah ruangan yang sangat besar, semacam aula. Semua orang memberi hormat dengan cara menundukkan kepala saat kami tiba. Pria bermahkota duduk di sebuah singgasana bertahtahkan emas, disusul oleh wanita bermahkota yang duduk di sebelah kanan sang raja. Aku melihat sebuah kursi kosong di sebelah kiri singgasana raja, itu mungkin tempat duduk putri Ambarwati hingga aku memutuskan untuk duduk di atasnya.
"Pangeran Lorpatih," panggil sang raja.
"Hamba paduka," seorang pemuda dengan pakaian kebesaran yang sangat bagus, maju beberapa langkah ke depan. Hatiku berdebar semakin kencang. Pemuda itu terlihat sangat tampan, matanya tajam, rahangnya kokoh, dan senyumnya juga sangat manis. Tubuhnya terlihat sangat atletis, "dia pasti sering berolah raga," pikirku.
Aku tertawa geli karena pikiranku sendiri, mana ada tempat fitness di kerajaan. Ah, bodohnya putri Ambarwati kalau sampai menolak suami sesempurna pangeran Lorpatih.