"Bagaimana Ambarwati?" Tanya sang raja. Aku menoleh ke arah sang raja. Bagaimana apanya?, aku terlalu terpesona dengan si pangeran hingga tak mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Ayahanda, bolehkah aku berpikir semalam lagi?, aku akan menjawabnya besok pagi," kataku akhirnya.
"Baiklah."
Sang raja kemudian bangkit dari singgasana, disusul sang ratu, dan akupun mengikuti mereka di belakang. Saat melewati pangeran Lorpatih, dengan sengaja aku menatap ke arahnya. Muka pangeran itu memerah, lalu senyum indah terlukis dari bibirnya. Ya Tuhan, kenapa dia harus dijodohkan dengan putri Ambarwati?, kenapa tidak dijodohkan denganku saja?.
Setelah kembali ke kamar putri Ambarwati, kembali aku mengamati cermin antik yang sama persis dengan cermin di kamarku. Tidak ada yang aneh. Tidak ada tombol tombol yang memungkinkan untuk cermin itu disebut sebagai mesin waktu. Kemudian, aku berdiri di depan cermin, aku melihat bayanganku sendiri yang masih mengenakan pakaian kebesaran seorang putri kerajaan. Lalu aku teringat pada pangeran Lorpatih, ah seandainya aku bisa bertukar tempat dengan putri Ambarwati lalu menikah dengannya, alangkah bahagianya.
Aku mengucek kedua mataku saat bayangan di dalam cermin telah berubah. Disana, aku melihat bayanganku sendiri tengah mengenakan gaun tidur berwarna putih gading. Aku panik.
"Jangan sekarang! jangan! aku bahkan belum sempat berkenalan dengan pangeran tampan itu, jangan!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H