Mohon tunggu...
Era Sofiyah
Era Sofiyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Buruh tulis

Hanya buruh tulis yang belajar tulus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lakon Bambang Sudomolo, Jalan Sutera Pendidikan Anti Korupsi Generasi Muda

17 Agustus 2024   21:07 Diperbarui: 18 Agustus 2024   14:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Institut Harkat Negeri (IHN)/harkatnegeri.org

Lakon Bambang Sudomolo menceritakan kegigihan Raden Sadewa dalam memerangi dan mencegah koalisi kejahatan, termasuk korupsi yang dimotori para Kurawa. Koalisi jahat Kurawa semakin berani karena back up dua raksasa, Kolonjoyo dan Kolontoko di belakang Kurawa. Koalisi jahat antara Kurawa dan Kolonjoyo ingin membinasakan peran Kunti, Pandawa, dan Kresna (KPK)

Kekuatan tiga serangkai harus dihilangkan kalau perlu dikriminalisasi, karena ketiganya menjadi musuh kejahatan, termasuk para koruptor. Semar sebagai pangejawantah dari rakyat dan pamongnya satria utama berada di belakang Kunti, Pandawa, dan Kresna. Semar sebagai pamong selalu mengingatkan para satria Pandawa untuk memegang amanah rakyat. Perilaku menyimpang termasuk memakan uang rakyat harus dihindari dan diberantas.

Keberadaan pamong Semar menyulitkan gerak para Kurawa. Sehingga koalisi jahat Kurawa untuk menyerang Pandawa dapat dipatahkan. Dan para perilaku kejahatan Kolonjoyo, Kolontoko, dan Durga berhasil disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar. Atas jasa Semar dan Sadewa, satria paling muda klan Pandawa, koalihat dapat dilumpuhkan. Atas jasanya tersebut para dewa memberi gelar Bambang Sudomolo kepada Sadewa. Gelar itu bermakna satria memilki keberanian dalam mencegah dan memberantas korupsi dan kejahatan di bumi nusantara.

Demikian narasi pagelaran Wayang dalam rangka memperingati Hari Korupsi Dunia, yang dihelat Masyarakat Transparansi Indonesia ( MTI ) dan Institut Harkat Negeri (IHN). Wayangan Sudomolo dibawakan oleh dalang wayang politik Ki Dalang Dr. Rohmad Hadiwijoyo.

Nilai-Nilai Integritas

Korupsi sejatinya adalah akar masalah kebobrokan. Korupsi adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusian dan keadilan. Korupsi sumber malapetaka karena menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang berdampak pada masyarakat dan merugikan negara. Sanksi berat terhadap koruptor harus diberikan untuk membuat orang berpikir ulang sebelum melakukan korupsi, seperti dengan menghilangkan berbagai hak sosial dan politik seorang koruptor, selain hukuman pidana serta denda.

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2021, Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara. Sementara itu berdasarkan survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2021, Indeks Perilaku Anti Korupsi berada di kisaran 3,88%. 

Berbicara soal sikap antikorupsi, tidak terlepas dari kata "integritas". Seseorang yang menjaga integritas akan memiliki sikap yang mencegahnya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Nilai-nilai ini dapat berasal dari nilai kode etik di tempat bekerja, nilai masyarakat atau nilai moral pribadi. Karena itulah, nilai-nilai integritas menjadi salah satu hal penting dalam pencegahan korupsi. 

Komisi Pemberantasan Korupsi merilis sembilan nilai integritas yang bisa mencegah terjadinya tindak korupsi. Kesembilan nilai itu adalah jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Nilai-nilai integritas tersebut mesti ditanamkan dan dilatih semenjak dini untuk melahirkan generasi baru yang lebih bersih dari korupsi.

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia sendiri merupakan perjalanan yang timbul tenggelam mengikuti dinamika perkembangan di sekelilingnya. Semua tidak lepas dari percampuran antara tuntutan masyarakat, kebutuhan politik dan tuntutan dunia usaha, dan bahkan tekanan internasional, serta berbagai kepentingan lainnya. 

Sejak terbitnya regulasi pertama pemberantasan korupsi pada tahun 1957 melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, regulasi dan badan anti korupsi silih berganti dilahirkan dan dibubarkan dengan berbagai alasan. 

Pada awal mula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Persiapan Pembentukan KPK padai awal tahun 2000-an mempelajari apa syarat berhasilnya upaya pemberantasan korupsi. Saat itu (sampai sekarang) dunia meyakini bahwa upaya korupsi tidak bisa hanya dilakukan dengan upaya represif saja, namun harus melalui pendekatan tiga arah : (1) penyelidikan dan penanganan tindak kejahatan korupsi; (2) perbaikan sistem untuk mencegah korupsi di masa depan; serta(3) program pendidikan publik dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang 30/2002 tentang KPK kemudian dirumuskan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ironisnya, semangat memberantasi korupsi, selalu beriringan dengan temuan-temuan baru kasus korupsi. Meminjam kata-kata Buya Ahmad Syafii Maarif yang menyatakan bahwa elit bangsa kita mengalami "mati rasa". Penilain tersebut bertolak dari keprihatinan realitas elit yang cenderung berorientasi kepada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ketimbang bangsa. Para elit yang harusnya memberikan teladan budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran dan idealisme, justru berbanding terbalik malah mempertontonkan sikap yang melenceng dari nilai-nilai pancasila.

Yang perlu disadari bahwa korupsi muncul bukan hanya karena faktor kebutuhan (need) dan kesempatan (opportunity), melainkan juga karena faktor keserakahan (greed). Setiap individu memiliki potensi sifat serakah, tidak peduli dia berasal dari kalangan menengah bawah atau pun kaum kaya raya. Pada umumnya, sifat serakah muncul karena naluri ingin berfoya-foya, sifat hedonisme, ingin mendongkrak status sosial atau karena merasa tidak pernah puas. Individu yang serakah rela mengorbankan orang lain demi memuaskan nafsu keserakahannya.

Tak kurang, seniman Sudjiwo Tedjo, mengajak masyarakat untuk mengingat serta memperbaharui cita-cita bangsa untuk merdeka, agar diperoleh semangat yang sama untuk menolak korupsi sebagai musuh bangsa. Kita benahi lagi cita-cita bangsa ini, kalau kita tidak punya cita-cita bersama, semua orang kehilangan motivasi, kehilangan motivasi untuk bersih, karena tanpa cita-cita bersama, mau dibawa kemana negara ini.

Wayang Kekinian 

Kearifan lokal merupakan suatu prinsip kognitif yang dipercaya dan diterima penganutnya sebagai sesuatu hal yang benar dan valid. Kearifan-kearifan ini menjadi serangkaian instruksi bagi masyarakat dalam kegiatan kesehariannya. termasuk didalamnya dukungan dalam upaya pencegahan korupsi.

Wayang kulit menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki nilai estetika dan kearifan lokal yang sangat kaya. Nenek moyang kita mewariskan nilai, budaya, dan norma kepemimpinan yang diekspresikan antara lain dalam cerita pewayangan. 

Maka dari itu, seni pertunjukan wayang memiliki fungsi sebagai media tontonan (pementasan), tuntunan (suri tauladan), dan tatanan  (aturan).  Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam pewayangan senantiasa mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan, serta menanamkan kepada masyarakat semangat "amar ma'ruf nahi mungkar" atau istilah dalam pewayangan "memayu hayuning bebrayan agung" sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Namun demikian, warisan nilai yang adiluhung ini hampir tak dikenal lagi oleh generasi jaman now. Bahkan lebih sering dianggap kuno, jadul, dan tidak njamani lagi. Alasan generasi muda berjarak dengan wayang  disebabkan bahasa yang digunakan dalam wayang dianggap terlalu rumit sehingga sulit untuk dipelajari dan dipahami. Cerita atau lakon dan pesan sosial yang disampaikan cenderung berat. Bahkan pertunjukan wayang bercorak konvensional, durasi wayang terlalu lama dan frekuensi pergelaran wayang terhitung masih rendah. alasan lainnya yang menjadikan wayang nggak lagi menarik minat anak muda adalah penggunaan musik. 

Padahal kalau kita bisa berpikir jernih dan mampu menganalisa, bahwa wayang kulit telah merajut kisah dan mengajarkan kehidupan melalui layar kulit yang tipis. Melalui pertunjukan yang dipimpin oleh seorang dalang, penonton dapat belajar nilai-nilai moral dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai kehidupan.

Di sisi lain, anggapan bahwa wayang adalah kebudayaan yang kuno dan kaku tidak tepat. Wayang diyakini tetap bisa relevan dengan konteks kehidupan modern. Seni pertunjukan wayang telah bertransformasi mengikuti dinamika zaman, baik dari segi bahasa lisan maupun media mendalang. 

Di era generasi Z ini mulai berkembang jenis wayang baru, wayang kontemporer misalnya. pertunjukan wayang kontemporer ini nggak lagi berfokus pada kisah Ramayana atau Mahabharata, melainkan kehidupan sehari-hari anak zaman sekarang.

Wayang kontemporer juga tidak monoton bercerita tentang hikayat kerajaan, apalagi kisah-kisah sejarah. Justru kita akan menemukan cerita baru yang lebih segar. Makin dekat cerita pewayangan dengan masyarakat, maka wayang kontemporer bisa melekat di hati banyak orang.

Tak hanya itu, wayang kontemporer memberikan warna baru dengan menggabungkan musik kekinian. Sebut aja Ki Catur Kuncoro yang dikenal dengan proyek wayang HipHop. Ki Catur Kuncoro mengolaborasikan musik elektronik, eksperimental serta HipHop. Kolaborasi unik itu pun menjadi trademark tiap performa Ki Catur. Ciamik!

Maka dari itu, seni pertunjukan wayang perlu didorong lebih jauh lagi demi memunculkan karya yang memberi nafas baru tanpa harus merusak nilai-nilai dalam wayang. Generasi muda perlu dikenalkan wayang dengan bahasa lakon, pesan sosial dan ajaran wayang.

Pun demikian, media massa bisa dijadikan alat dalam penyebarluasan informasi wayang. Akses terhadap media yang begitu mudah bagi masyarakat saat ini merupakan titik tengah mengangkat tradisi wayang. Media massa perlu didorong untuk memberikan ruang khusus bagi wayang.

Terakhir sebagai warisan dunia dan telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Manusia. Pelestarian wayang membutuhkan political will dari pemerintah agar adanya sinkronisasi kebijakan pendidikan dan kebudayaan supaya wayang dapat masuk ke dalam dunia pendidikan, sebagai upaya pencegahan korupsi sejak dini. 

Sumber Referensi:

https://harkatnegeri.org/berita/memperingati-hari-antikorupsi-ihn-dan-mti-menggelar-wayangan-dan-diskusi/

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220517-memahami-9-nilai-prinsip-antikorupsi

https://zetizen.jawapos.com/daily-dose/28/12/2017/wayang-kontemporer-pengembangan-seni-wayang-yang-disesuaikan-dengan-generasi-z

https://ugm.ac.id/id/berita/7928-wayang-ditinggal-generasi-muda/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun